Tuesday, March 28, 2006

PERANAN BAPAK DALAM KELUARGA

Bulan Maret adalah bulan yang dalam tradisi Gereja Katolik dipersembahkan sebagai bulan untuk memberikan rasa hormat secara khusus kepada St. Joseph. Pesta St. Joseph jatuh tepat pada tgl 19 Maret. Di India khususnya; pesta ini menjadi dengan pesta meriah yang ditandai dengan ‘sharing kebahagian’ kepada mereka yang membutuhkan. Sharing ini dalam bentuk memberikan makanan kepada ribuan orang secara cuma-cuma.
Sebagai orang timur, kita tidak terlalu mengenal tradisi pesta ‘hari bapak, atau Father’s Day’ seperti halnya di negera barat lainnya. Namun demikian figur seorang bapak dalam kehidupan keluarga tetap dipandang sangat penting. Kehadiran dan peranannya sebagai kepala keluarga sangat menentukan jalannya kehidupan keluarga itu sendiri. Dalam suatu penyeledikan di Amerika menyimpulkan bahwa ketidak-hadiran bapak dalam keluarga membawa akibat yang sangat fatal bagi perkembangan hidup anak-ananya, tidak ada bedanya dengan peranan seorang ibu dalam keluarga. Pengaruh negatif terhadap anak-anaknya sangat kuat, terutama anak laki-laki. Dalam penyeledikian itu diketahui bahwa ketidak hadiran seorang bapak membuat anak laki-laki menjadi peka-perasa, pemarah dan mudah frustasi. Bakan anak cendering menjadi ‘introvert’ dan pembuat masalah.
Kehadiran fisik seorang bapak dialami sebagai kehadiran yang melindungi. Anak-anak laki-laki sering merasakan dan mengalami kehadiran seorang bapak sebagai seorang pahlawan atau ‘hero’ dan pemimpin dan Mereka bahkan menerimanya sebagai model dan idola kehidupan mereka. Bagi anak-anak bapak adalah figur yang menantang, dan bantuannya mampu menyelesaikan segala masalah dan kesulitan yang dihadapi anak-anak. Mereka begitu percaya dan bangga akan bapaknya. Kehadiran bapak dalam kehidupan mereka sungguh mempunyai pengaruh dalam hidup yang luar biasa. Anak-anak akan bertindak dan bertingkah laku berdasar pada contoh dan teladan yang diberikan kepada orang tuanya.
Dalam kaitannya dengan perayaan tahun Jubilee 2000, salah satu keuskupan di India, yakni Goa mengadakan pertemuan dan seminar yang membahas masalah peranan bapak dalam keluarga. Dari hasil pertemuan itu dihasilkan bahwa keadaan peranan bapak dalam kehidupan keluarga sangat memprihatinkan, atau boleh dibilang semakin menipis. Bahkan banyak bapak yang tidak mengetahui lagi apa pernannya dalam kehidupan keluarga selain memberikan nafkah kepada anak dan istri. Figur seorang bapak sulit lagi dipakai sebagai model dan teladan. Bapak menjadi figur yang sulit untuk didekati. Bapak semakin lupa peranannya, terutama dalam keterlibatan mendidik dan membimbing anak-anaknya. Selain itu mereka semakin menjadi ‘over-possive’ dalam segala hal dan cenderung egois atau mementingkan kepentingan diri sendiri. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa mereka tidak lagi perduli dengan pendidikan iman anak-anak mereka. Dan selalu merasa diri paling sibuk dengan berbagai kerjaan dan kegiatan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga. Mereka menjadi sangat jarang berkumpul dengan anak-anak, apalagi memberikan waktu dan perhatian khusus kepada mereka.
Mengembalikan peranan bapak dalam kehidupan keluarga, sebagai seorang beriman kita bisa melihat kembali peranan St. Joseph dalam kehidupan keluarga kudus. Hal ini bisa memberikan inspirasi baru. Sebagai orang beriman kita mengakui bahwa St. Joseph adalah teladan bagi para bapak. Kitab Suci secara singkat memberikan gambaran peranannya terhadap keluarga kudus di Nasareth. Dikatakan bahwa Joseph adalah seorang yang ‘beriman teguh dan taat’ [bdk Mat 1:19]. Hal ini berarti bahwa ia menghayati hidupnya secara penuh sesuai dengan kehendak Allah. Selain itu dia juga adalah orang yang begitu bertanggung jawab terhadap kehidupan Jesus [bdk Luk 2;52] Salah satu keutamaan St. Joseph adalah bahwa dia adalah orang yang pendiam yang bijak, atau man of silence [bdk Mat 1: 19] melindungi Maria dari aib sosial, ketika Maria mengandung dari Kudus. Dia adalah seorang yang menampilkan hal yang baru dan menyimpan yang lama dari kekayaan hati dan hidupnya, sebagaimana terungkap dalam perumpamaan injil [bdk Mat 13: 46].
Kalau seorang bapak ingin menjadikan St. Joseph sebagai suatu model dan figur dalam menghayati peranannya dalam kehidupan keluarga, pertama-tama dan paling utama adalah bahwa mereka haruslah menjadi seorang yang ‘saleh dan beriman’ . Mereka sungguh harus menjadi teladan dan contoh iman dari anak-anak dan keluarga mereka. Mengajar kepada anak-anaknya kebenaran iman yang diyakininya menurut Kitab Suci dan ajaran Gereja. Melalui teladan dan pengajaran iman ini diharapkan bahwa figur kehadiran Allah Bapa dalam diri mereka menjadi semakin nyata dan nampak kepada anak-anaknya . Selain itu tugas mendidikan anak-anak, bukanlah melulu tugas seorang ibu. Tugas mendidik anak-anak adalah tanggung jawab mereka sebagai orang tua, maka keterlibatan seorang bapak sangat penting dan menentukan.
Satu kebutuhan yang perlu dan mendesak dalam keluarga di abad nuklir ini adalah kehadiran fisik bapak dalam keluarga. Memberi waktu dan perhatian kepada kebutuhan keluarga adalah hal yang sangat essensial. Ini sama perlunya dengan waktu untuk kerja. Tidak ada alasan bagi seorang bapak untuk mengatakan ‘aku sibuk sekali, tidak mempunyai waktu untuk keluarga’. Aku bekerja keras untuk mereka, dan demi mereka saya sampai lupa waktu. Seringkali dengan alasan semacam ini, seorang bapak berusaha membenarkan dirinya dari kurangnya memberi waktu untuk istri dan anak-anak mereka. Waktu untuk bercengkerama bersama keluarga adalah mutlak perlu, bila bapak tidak ingin kehilangan keluarga dan anak-anaknya.
Perlu disadari, sekaligus dihindari betapa sering dan mudahnya bapak menampakkan dirinya sebagai ‘boss’ yang harus dilayani oleh semua anggota keluarganya. Bahkan betapa sering kita jumpai bapak yang cenderung menjadi kasar dan galak terhadap anak-anak dan keluarganya. Mereka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang sama sekali tidak bermanfaat di luar rumah mereka. Kalau mereka merasa bahwa kerja sudah menyita seluruh waktunya, semestinya waktunya yang begitu singkat bersama keluarga itu digunakan seefisien mungkin.
Akhirnya, mengembalikan peranan bapak dalam keluarga, berarti bahwa bapak harus menampakkan diri sebagai ‘terang yang bersinar’ bagi keluarga mereka. Kehadirannya sebagai ‘sinar dan terang’ dalam keluarga akan memberikan arti yang mendalam bagi perkembangan hidup anak dan istrinya.

Salam dan doa
MoTe

Saturday, February 25, 2006

‘MASALAH VASEKTOMI DAN TUBEKTOMI’

Banyak diantara keluarga katolik yang bingung bila ditanya apakah vasektumi dan tubektum itu diperbolehkan atau dilarang oleh Gereja. Bukankah yang dilarang oleh Gereja adalah alat-alat kontrasepsi yang bersifat membunuh. Sementara vasektomi dan tubektumi tidaklah bersifat membunuh. Dalam artikle singkat ini saya mencoba untuk menjawab kebingungan keluarga katolik berhadapan dengan masalah ini. Pertama-tama saya setuju bahwa vasektomi dan tubektomi tidak bersifat membunuh. Namun pertimbangan dalam alasan Gereja dalam melarang penggunaaan sterilisasi permanent ini lain dengan kontek aborsi.
Alasan pokok dari dilarangnya penggunaan strelisasi mantap ini adalah kodrat dan hakekat/sifat dari perkawinan. Saya mengatakan hakekat dan kodrat, ini harus dimengerti dalam kontek ajaran dan iman Gereja Katolik mengenai nilai perkawinan. Dengan kodrat saya mau mengatakan bahwa tindakan sterilisasi permanen itu bertentangan dengan arti dan tujuan kemampuan seksual karena 'menggagalkannya atau bahkan mematikannya secara total'. Yang kedua adalah makna prokreatif dan unitif tak boleh dipisahkan. Di dalam hukum kanonik, Gereja Katolik merumuskan bahwa perjanjian perkawinan dengan mana pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, menurut sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Dengan bahasa kita bahwa kodrat perkawinan selain tujuan lain adalah demi kelahiran anak. Seandainya dalam kasus sterilisasi itu terjadi, dengan memutuskan sarana mutlak bagi terbukanya kemungkinan kelahiran itu dihambat oleh karena campur tangan manusia, maka dengan demikian kodrat perkawinan itu tidak terpenuhi. Seandainya pun mereka sudah mempunyai anak dan ingin membatasi jumlah anak, tidak semestinya kodrat ini dilanggar bila masih ada kemungkinan lain yang nilai moralnya masih bisa lebik kecil konswensinya.
Alasan lain adalah sifat dari perkawinan katolik yang adalah sakrament. Artinya menjadi tanda dan sarana keselamatan Allah. Yang menjadi tekanan di sini adalah sarana. Bukankah kelahiran anak dalam suatu perkawinan merupakan bentuk kerja sama antara manusia dan Allah dengan karya penciptaan? Allah terus mencipta manusia-manusia baru, dan hal itu terjadi dalam keluarga kita yang menjadi sarana kelahiran manusia baru. Seandainya sarana kelahiran ini dipotong total, diberhentikan fungsinya oleh karena campur tangan manusia, maka kerja sama manusia dengan Allah akan lahirnya manusia baru menjadi tidak berjalan.
Menyinggung bahwa sterilisasi bisa disambung lagi. Seandainya pun itu bisa, menurut hemat saya, seorang suami-istri yang telah memutuskan untuk tidak mempunyai anak dengan cara sterilisasi tidak akan punya pikiran lagi suatu saat akan menyambung vasek atau tubektominya. Tindakan sterilisasi itu biasanya didasari oleh motivasi yang kuat bahwa mereka tidak ingin mempunyai anak lagi, dan mereka menganggap dan merasa cara ini paling gampang, aman dan ampuh.
Untuk membantu keluarga Katolik untuk memahami ajaran Gereja tentang perkawinan dan masalah disekitarnya yang menyertainya serta untuk bisa mengerti sikap Gereja dengan berbagai macam alat kontrasepsi dalam kaitannya dengan prokreasi dan pembatasan jumlah anak. Saya akan menyampaikan perkembangan masalah yang terjadi dalam sejarah Gereja dari Ensklik "Casti Cannubii" yang dikeluarkan oleh Paus Pius ke XI tahun 1930 hingga seruan Apostolik "Familiaris Consortio" Oleh John Paul II, tahun 1981. Saya tidak ingin menggurui, tetapi saya hanya ingin agar dengan informasi masalah sekitar perkawinan terutama dalam kaitannya dengan prokreasi ini mas Heru dan rekan lainnya dibantu untuk memahami sikap Gereja yang 'nyleneh, aneh' dan terkesan 'tidak kompromi' dengan dunia.
Secara teologis isi ensklik "Casti Cannubii" tidak ada yang baru. Isi dan telogy perkawinan melanjutkan ajaran dari ensklik sebelumnya "Arcanum" yaitu menegaskan kembali kesucian, keluhuran perkawinan yang merupakan lembaga ilahi. Sesuatu yang baru dalam ensklik ini adalah petunjuk pastoral, terutama berhadapan dengan kasus dan situasi ini yang oleh ensklik, misalkan salah satunya disebut "kesesatan melawan perkawinan". Disadari oleh para uskup bahwa lembaga perkawinan yang suci kurang dihargai. Lewat drama, roman, novel, film, radio bahkan publikasi ilmiah, kesucian perkawinan direndahkan, dengan memuji perceraian, perzinahan dsb. Semua itu melanda segenap lapisan masyarakat, dan menumbuhkan pemuasaan nafsu yang tak terkendali. Sumber kesesatannya terletak pada anggapan bahwa perkawinan bukan suatu lembaga yang dibangun oleh Allah, bukan pula lembaga yang diangkat oleh Jesus Kristus menjadi sakramen, melainkan hanyalah hasil penemuan manusia sendiri. Pandangan "sesat" ini kemudian menyatakan bahwa kaidah-kaidah atau norma perkawinan ditentukan oleh manusia. Maka mereka mengusulkan beberapa bentuk perkawinan baru, seperti perkawinan sementara, perkawinan coba-coba dan perkawinan persahabatan.(art. 44-49)
Dalam kaitannya dengan keturunan, ensklik menyatakan bahwa diantara mereka yang menolak keturunan dengan berbagai alasanan, entah merasa tak mampu berpantang, entak karena sebenarnya hanya ingin mencari kesenangan sendiri. Hubungan seksual suami-istri itu menurut kodratnya terarah bagi kelahiran anak. Maka mereka yang sengaja menghalangi keterarahan itu, bertindak melawan kodrat dan melakukan tidakan yang secara intrinsik jahat. (art.52-53)
Untuk bisa memahami ajaran ini, perlu dimengerti bahwa tujuan perkawinan dulu dibagi dalam dua hal yaitu tujuan primer, demi kelahiran anak dan tujuan sekunder adalah saling membantu, saling menyayangi dan memenuhi kebutuhan seks.
Bila kita membaca secara lengkap ensklik ini yang panjang lebar menjelaskan segala aspek mengenai perkawinan, kesan dari isi ensklik bersifat apologetic, banyak artikel yang ditulis untuk menjawab situasi yang terjadi pada saat itu, dengan rumusan 'melawan' ini dan itu.
Dalam polemik mengenai tujuan dan makna perkawinan, Paus Pius XII (th.1939) menegaskan kembali bahwa 'tujuan utama' perkawinan adalah menurunkan dan mendidik anak, seperti dirumuskan dalam Kitab Hukum Gereja 1917. Dalam waktu yang sama, dimana terjadi polemik yang hebat di Perancis dan German, mengenai makna dan tujuan perkawinan, pada th 1930 Ogino menemukan metoda pantang berkala dengan sistim kalender Jepang, dan secara terpisah Knaus menemukan hal yang sama di Austria. Paus ini memang tidak menuliskan enskliknya, tetapi ajaran tentang hal ini, terutama alam kaitannya dengan masalah yang terjadi pada saat itu bisa ditemukan dalam pidatonya dihadapan para bidan Italia di Vatikan.
Nasehat Paus ini sangat kontektual dan sangat mudah dimengerti, ada dua pokok yang ingin saya kutipkan, yaitu berkisar kerasulan profesional para bidan, terutama sebagai seorang beriman kristiani, bagaimana mereka harus bertindak bila berhadapan dengan kasus-kasus yang sulit dalam karya mereka dan masalah moral perkawinan.
Paus menegaskan bahwa dunia ini adalah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Martabat manusia harus dihargai, juga anak yang belum lahir, setingkat dengan ibunya. Dan karena anak, juga yang belum lahir memperoleh hidup langsung dari Allah. Maka manusia tidak boleh menghancurkannya, atas dasar alasan maupun indikasi mana pun (medis, eugenis, sosial, eknomis, moral) baik sebagai tujuan maupun sebagai sarana. Mereka harus membantu suami-istri untuk menerima anak dengan penuh syukur, sebagai anugerah Allah, seperti disebut dalam Mazmur 127:3, 128:3-4 bdk 109.13. (art. 5-6,8)
Lebih lanjut dalam kaitan dengan 'moral perkawinan' paus mengemukakan bahwa kesedian melahirkan anak merupakan tuntutan kodrati bagi penggunaan hubungan seksual, dan merupakan kerja sama dengan Allah sendiri (Luk 1:31) Paus juga menganjurkan supaya para bidan menolak dengan tegas permintaan untuk menghancurkan bayi, menentang kehendak Allah. Pemandulan langsung (steril, baik secara tetap maupun sementara, baik sebagai tujuan maupun serana merupakan tindakan immoral, menentang hukum kodrat. Bila terjadi bahwa seorang ibu boleh melahirkan lagi karena alasan-alasana berat. Padahal pantang berkali tidak bisa dilaksanakannya secara berhasil, lalu bagaimana? Dalam keadaan itu, tidak dapat dilakukan penggunaan alat kontrasepsi maupun pengguguran. Maka perlu dilaksanakan pantang dari hubungan seks yang lengkap. (art. 17,20,22,30-32)
Dalam kaitan dengan situasi atau pendapat yang mengatakan bahwa hubungan seksual suami-istri terutama sebagai 'ungkapan kesatuan pribadi dan hubungan cinta kasih belaka (affective) dan menempatkan kelahiran anak sebagai akibat samping dari ungkapan kesatuan pribadi tersebut, dan menjadi beban keluarga. Paus menegaskan bahwa pandangan itu membalikan apa yang diajarkan oleh Sang Pencipta mengenai hirarki nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari perkawinan dan hubungan seksual. Lebih lanjut diterangkan bahwa perkawinan sebagai lembaga kodrati atas kehendak sang Pencipta mempunyai tujuan pertama untuk 'melahirkan dan mendidik anak' bukan untuk menyempurnakan pribadi suami istri. Tujuan lain bersifat sekunder dan harus tunduk pada tujuan pertama itu. Dalam kaitan dengan itu dijelaskan bahwa Allah menghendaki, hubungan seksual di arahkan pada cinta kasih, justru untuk menunjukkan keluhuran martabat suami-istri, sebagai citra Allah (Kej 1:27) yang dipanggili menjadi 'satu daging' (Kej 2:24) Cinta suami istri sendiri, menurut kehendak Pencipta, harus diabdikan bagi penerusan umat manusia dan perlu bagi pendidikan anak. (art.40-44)
Paus menegaskan, pembuahan buatan tidak diterima. Hubungan seks sekaligus memungkinkan persatuan pribadi antara suami-istri sehingga menjadi satu daging. Pembuahan bukan hanya masalah pertemuan dua benih, sehingga bisa terjadi secara buatan. Hubungan seksual merupakan juga kerjasama antara dua pribadi. Dan hubungan seks hanya benar secara moral bila dilakukan oleh suami istri sah dan terarah pada tujuan perkawinan menurut tata nilai yang tepat.
Sayang bahwa situasi dunia pada umumnya kurang melihat arti ini, mereka cenderung melepaskan hubungan seksual dari fungsi generatifnya, karena mendewakan hawa nafsu. Dan hedonisme itu sudah menjadi kebiasaan yang melanda masyarakat. Dalam hal ini jelas sekali bahwa martabat manusia direndahkan, hanya dalam taraf nafsu, maka moral kristen tidak membenarkan pendewaan nafsu ini. Kebahagiaan tidak terletak pada pemuasan hawa nafsu, tetapi terutama terletak pada sikap saling hormat dan kemesraan suami istri. Perlu disadari bahwa hubungan seks ini bukanlah tujuan, melainkan saran yang diabadikan bagi kehidupan baru. (art. 45-46,52-59)
Dari pemaparan ini nampak adanya garis merah bagaimana sejak dulu Gereja telah memberi perhatian keras terhadap situasi yang menurut Gereja sangat menghawatirkan. Keterlibatan Gereja dalam hal ini didasari oleh kopentensinya dalam bidang ajaran moral dan iman. Dalam kaitannya dengan masalah perkawinan yang diperjuangkan adalah kebenaran, kesucian dan kemurnian perkawinan.

Salam dan doa
MoTe

MELINDUNGI KELUARGA DARI BAHAYA NARKOBA [2]

Keterlibatan keluarga dalam masalah kecanduan narkoba
Ada dua hal yang harus dilakukan oleh kelurga dalam keterlibatan kita terhadap mereka yang kecanduan narkoba. Pertama adalah keterlibatan informal (informal approach), yakni keterlibatan terhadap mereka yang belum terlalu parah mengalami kecanduan narkoba. Dikatakan informal karena keterlibatan ini lebih menekankan pada usaha keluarga untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi pada mereka. Keterlibatan ini merupakan persiapan untuk melangkah pada usaha perawatan dan penyembuhan si pecandu melalui proses informal. Yang kedua pendekatan struktural (structural approach) yakni keterlebitan keluarga terhadap mereka yang sudah agak parah dalam tingkat kecanduan narkoba. Tekanan keterlibatan keluarga ini adalah mengarah pada langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah. Dikatakan struktural karena keluarga harus siap dengan berbagai jawaban struktural yang akan terjadi dalam perjumpaan dengan si pecandu narkoba.

Keterlibatan informal
Hal yang penting dan perlu yang harus dilakukan oleh orang tua dan keluarga bila mengetahui bahwa anggota keluarga sudah menjadi pelanggan tetapi narkoba adalah ‘tetap tenang’ (stay calm) dan berusaha untuk mengendalikan emosi. Karena kemarahan orang tua justru akan menambah semakin ruwetnya masalah dan parahnya si pecandu. Kita sadar bahwa hal ini memang sulit untuk dilakukan, namun langkah ini sangat perlu. Dengan berusaha tetap tenang, banyak hal bisa dilakukan dengan pikiran yang jernih.
Mereka yang sudah kecanduan narkoba adalah orang yang sakit. Mungkin badannya sangat sehat, tetapi rapuh. Jiwanya pun sudah tidak stabil lagi, paling tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran normalnya. Menyadari kenyataan seperti ini, adalah sangat perlu untuk memberikan ‘perhatian khusus’ terhadap mereka. Perhatian khusus ini terungkap dalam sikap kita yang wajar dan mampu menerima mereka apa adanya. Mungkin mereka tidak salah, mungkin mereka hanyalah korban dari situasi, dan pasti mereka pun tidak ingin hal ini terjadi pada mereka. Cinta dalam bentuk-bentuknya yang konkrit adalah sarana yang paling ampuh, yakni menerima dan mengampuni.
Betapa sering orang tua membuat kesalahan fatal yang tidak disadari Kesalahan yang tidak disadari dan mempangaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikologi dan kepribadian itu adalah memberi ‘cap-cap’ tertentu kepada anak-anak merek. “Dasar kamu pemalas, pelupa, goblok dll’. Cap yang diberikan itu begitu mengesan dalam diri anak, sehingga mereka di dibelenggu oleh cap itu. Betapa banyak anak yang akhirnya tidak berkembang secara normal karena sudah diberi cap negatif. Mereka ‘mandhek’ dan tidak mau berusaha untuk menjadi baik, karena segala hal yang dibuatnya sudah dicap jelek. Mereka butuh dihargai dan dipuji, diakui dan diterima. Demikian pula yang harus kita lakukan terhadap mereka yang telah terjerat narkoba. Sebaiknya dihendari memberi cap kepada mereka ‘sebagai pencandu’. Cap pecandu ini akan ‘diafirmasi’ bila mereka gagal dalam usaha berhenti dari ketagihan narkoba. Toh orang tua, atau lingkungannya sudah mengecap ‘saya’ sebagai pencadu, kepalang basah, saya akan terus.
Sering terjadi bahwa orang tua mengetahui anggota keluarga atau anaknya menjadi pelanggan tetap narkoba dari orang lain. Mereka mendapat laporan bahwa anaknya telah berbuta begini dan begitu. Dan tidak jarang, dengan fakta dan data ‘kata orang lain’ ini orang tua menghakimi dan memarahi anaknya habis-habisan. Dalam pendekatan informal, bertanya langsung kepada anak akan kebenaran apa yang didengar ini adalah langkah yang bijaksana. Sebaiknya dihindari menggunakan perbendaharaan kata ‘kata orang atau saya dengar dari…’. Lebih baik bila menggunakan data dan fakta dari tanda-tanda yang telah kita ketahui dalam tulisan yang lalu. Gunakan pendekatan personal dan humanis. Dalam arti kita harus menyadari diri bahwa untuk mengakui apa yang ‘dianggap jelek’ itu tidak mudah. Kecenderungan normal manusia adalah menonjolkan yang baik dan menyembunyikan yang jelek.
Anak tidak akan mengakui begitu saja apa yang terjadi dalam dirinya, karena mereka merasa bisa mengatasi masalahnya. Oleh karena itu orang tua harus siap untuk kecewa dan ditolak. Sekali lagi di sinilah kesabaran dan ketenangan sangat dibutuhkan. Orang tua hendaklah berusaha untuk tidak terpancing dan menjadi marah-marah karena kecewa. Untuk mengakui kenyataan ini dibutuhkan keberanian dan waktu. Mungkin ada berbagai macam faktor dibalik kenyataan bahwa mereka tidak mau mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Banyak orang tua yang menjadi sangat tersinggung karena ditolak dan dikecewakan. Bila hal ini terjadi tak jarang banyak orang tua yang lalu menggunakan otoritas dan kuasanya untuk memaksa dan mengendalikan anaknya. Bila hal ini terjadi, masalah akan semakin rumit.
Sikap yang penting dan harus terus dikembangkan untuk membantu penyembuhan adalah ‘sikap mendukung dan berharap bahwa mereka akan berubah’. Sikap ini akan muncul bila orang tua memberikan kepercayaan kepada anaknya. Memberi kesempatan kepadanya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dukungan ini akan membuat anak berani menghadapi masalah, karena mereka merasa tidak sendirian. Perubahan atau dalam hal ini sembuh dari ketagihan harus menjadi targetnya. Bentuk dukungan ini bisa diwujudkan dengan menciptakan suasana rumah yang membuat si anak merasa krasan tinggal di rumah. Kasih, perhatian dan doa adalah kekuatan tersembunyi yang mempunyai daya yang luar biasa. Sikap manis, ramah dan ‘welcome’ yang ditunjukkan anggota keluarga kepada mereka yang ketagihan narkoba akan menjadi sumber kekuatan untuk berubah.

Keterlibatan Struktural
Sebagaimana sudah saya katakan sebelumnya bahwa keterlibatan struktural ini dilakukan bila mereka sudah menjadi pacandu dalam tingkat yang cukup parah atau parah. Perlu diingat, bahwa dalam kondisi seperti ini si pecandu sudah tidak mampu menggunakan daya pikirannya secara normal dan sehat. Bahkan bisa jadi mereka sudah tidak mampu lagi mengendalikan dirinya secara penuh. Arah dari keterlibatan ini adalah mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan masalah. Dan masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana mencari jalan keluar untuk menyembuhkan ‘si pecandu’. Maka dalam keterlibatan ini, orang tua harus sudah mempunyai kerangka jelas langkah-langkah apa yang akan dilakukan (struktural). Dan juga harus siap dengan berbagai kondisi menghadapi situasi negatif yang akan terjadi. Bila hal ini sudah dirasa cukup, langkah berikut harus dijalankan.
Cari waktu yang tepat untuk berbicara dengan mereka yang ketagihan. Dalam perjumpaa ini, ajak dua atau tiga orang yang mengetahui informasi dan masalah-masalah narkoba ini. Bisa jadi mereka adalah pastor, suster, dokter, guru atau teman-teman dekat. Sangat penting bahwa orang-orang yang bicara ini mempunyai reputasi positif dimata anak. Juga perlu diperhatikan orang yang secara emosional mempunyai ikatan dengan si anak. Tujuan utama dari pertumuan ini adalah membuka hati kepada sipencandu untuk menerima dirinya dalam proses penyembuhan. Maka akan bijaksana bila menghindari omong panjang yang tak menentu. Si pecandu sudah tidak mampu menyerap segala bentuk nasehat-nasehat. Yang dibutuhkan di sini adalah jawaban bahwa si pecandu mau berobat dan menyembuhkan dirinya dari ketergantungan narkoba ini.
Perlu pula disepakati bersama, siapa yang harus menjadi pembicara utama. Sekaligus harus tahu pula apa yang harus dibicarakan. Mengungkap kembali kesalahan dan menghakimi si pecandu sebaiknya dihindari. Arah dan omongan yang terstruktur jelas menjadi sangat penting. Maka langkah demi langkah dalam pembicaran menjadi sangat penting. Pergunakan kesempatan ini untuk menjelaskan mengapa perlu berobat. Baik pula mengatakan konskwensi yang akan terjadi bila mereka tidak mau menjalani proses teraphi. Kesabaran dan pengertian sangat dibutuhkan dalam pertemuan ini.
Perencanaan yang kongkrit dan segera harus sudah dibuat. Katakan kepada pecandu mengenai segala rencana kongkrit yang telah dibuat. Usahakan untuk mengatakannya dengan singkat dan jelas. Alasan yang masuk akal dan tepat menjadi faktor penting untuk bisa diterima dan dimengerti oleh si pecandu. Inilah alasannya mengapa kita perlu mengajak orang yang mengetahui seluk-beluk dan masalah narkoba.
Perlu di sadari, bahwa orang yang sudah kecanduan atau ketagihan tidak akan begitu saja mau lepas dari jerat itu. Mereka sudah terperangkap begitu dalam, otaknya sudah diracuni oleh pengaruh narkoba itu. Mereka pasti juga tahu bahwa akibat tidak terpenuhi kebutuhan mereka akan narkoba membuat mereka menderita. Dan pasti mereka mengerti bahwa proses penyembuhan ini akan membuat mereka menderita, karena mereka harus berjuang untuk berhenti dari ketergantungan itu. Maka mereka yang terlibat dalam pembicaraan ini harus siap dengan penolakan yang muncul. Reaksi mereka pasti tidak akan langsung menerima, mereka akan memberikan berbagai alasan penolakannya. Perlu mempersiapakan jawaban-jawaban yang akurat dan logis untuk menjawab penolakan. Merasa berempathi dengan si penderita menjadi sangat penting. Merasakan apa yang sedang dirasakan oleh si pecandu, supaya lebih bisa memahami situasi mereka.
Harapan kita bahwa mereka yang ketagihan narkoba akan menerima proses penyembuhan yang ditawarkan kepada mereka. Tetapi bisa jadi mereka menolak mengenai tempat dan bagaimana proses terapi ini dijalankan. Oleh karena itu, penting bagi kita mempunyai alternatif lain bila prioritas pertama yang ditawarkan ditolak. Atau bisa pula ditempuh dengan memberikan beberapa pilihan, dan diberi kebebasan kepada si pecandu untuk menentukan pilihan. Sekali lagi harus diingat coba hindari pemaksaaan dalam bentuk apa pun. Hal ini dilakukan untuk mengantipasi kemungkinan negatif yang akan muncul dalam proses penyembuhan. Sekaligus memberi dukungan moral, bila si pecandu menjalankan proses teraphi didasari oleh kemauan sendiri dan bukan paksaan, akan membantu dia lebih cepat sembuh.
Demikianlah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam intervensi kepada mereka yang ketagihan narkoba. Sekali lagi saya tegaskan kembali bahwa bahwa masalah ketagihan narkoba ini adalah masalah yang multidimensial, maka perawatannya pun juga multidimensial pula. Kerja sama team yang bertugas dalam institusi atau lembaga khusus dengan orang tua tua dan keluarga menjadi sangat penting. Kunjungan dan perhatian menjadi faktor pokok dalam proses. Usahakan untuk menghindari kesan bahwa anak anda dibuang dari keluarga. Dalam perjumpaan kunjungan dengan si anak, banyaklah bicara mengenai masa-masa indah yang pernah anda alami dengan mereka. Ungkapkan juga kerinduan anda untuk bersatu kembali, membangun kedamaian keluarga. Jangan terlalu menampakkan kesedihan hati anda. Karena bisa jadi hal ini akan ditafsirkan bahwa anak ini menjadi beban keluarga.
Akhirnya, faktor lain yang juga menjadi unsur penting adalah doa. Serahkan semua peristiwa ini dalam keagungan kuasaNya. Doa dan karya akan lebih berarti dari pada tangis penyesalan.

salam dan doa

MoTE


MELINDUNGI KELUARGA DARI BAHAYA NARKOBA [1]

Masalah Dunia Modern
Berbagai macam kesulitan dan beratnya perjuangan hidup di dunia ini membawa akibat tertentu bagi orang-orang yang tidak mampu mengatasi dan bertahan. Cara yang paling mudah keluar dari situasi ini adalah melarikan diri dari masalah kongrit yang sedang dihadapi dengan mencari dunia impian. Dunia impian ini dirasa mampu memberikan kenikmatan dan melepaskan dari jerat beratnya beban hiidup. Sarana yang mampu memberikan kenikmatan sesaat dan melarikan dari masalah hidup adalah narkoba (narkotik dan obat-abat terlarang). Sudah menjadi kenyataan dan keprihatinan bersama bahwa masalah kecanduan narkoba sudah menjadi masalah dunia yang melanda segala lapisan masyarakan. Dari beberapa penyelidikan yang diadakan di Universitas Michigan USA setiap tahun jumlah orang yang ketagihan narkoba ini semakin bertambah. Pertambahan jumlah ini terutama terjadi dikalangan anak-anak remaja. Sebab utama mengapa anak-anak remaja terjebab dalam perangkap narkoba ini adalah tidak tahu akibat dari katigahan narkoba dan kurangnya pengetahuan akan bahaya dari narkoba. Sementara perhatian dan penangan serius terhadap bahaya yang mengancam umat manusia di dunia ini tidak seimbang dengan jumlah korban yang berjatuhan.
Dari kenyataan yang ada, masalah kecanduan obat terlarang ini melanda semua lapisan dengan tidak pandang bulu. Efek dari kecanduann ini melampau batas umur, jenis kelamin, suku bangsa, status keluarga, tempat tinggal, status sosial dan gaya hidup. Dengan kata lain masalah ini sungguh menjadi masalah yang mempunyai pengaruh multidimensial.
Pengalaman bekerja di rumah retret Giri Nugraha selama kurang lebih 7 bulan, berkancah dengan dunia anak muda dari berbagai sekolah dilingkungan Kodya Palembang dan sekitaranya, saya dikagetkan dengan kenyataan bahwa masalah kecanduan obat terlarang ini ternyata tidak lagi menjadi masalah anak-anak muda dikota besar. Tetapi kota Palembang pun sudah menjadi ajang narkoba. Dari beberapa anak-anak yang melakukan retret dan datang secara pribadi dalam konseling, saya menjadi tahu bahwa mereka sudah terjebak dalam dunia gelap obat terlarang ini. Kebanyakan dari mereka menyembunyikan masalah ini dari orang tuanya. Dengan kata lain orang tua mereka tidak mengetahui bahwa anaknya sudah menjadi pelanggan tetap obat ini, sudah menjadi pecandu narkoba. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dan perasaan orang tua bila mereka mengetahui anak-anaknya yang ganteng, yang cantik itu ternyata sudah menjadi pencandu narkoba. Bisakah mereka menerima kenyataan pahit itu. Bisakah mereka membantu anak-anaknya keluar dari masalah yang membuat masa depannya menjadi buram tanpa harapan itu? Saya menjadi ragu akan kemampuan mereka menghadapi masalah yang rumit ini.
Sungguh, bagi banyak keluarga merupakan aib bila ada anggota keluarga yang ketagihan narkoba ini. Orang tua akan sangat terpukul dan akan merasa bahwa mereka merasa gagal dalam memdidik anak-anaknya. Dengan segala usaha mereka akan menutup-nutupi hal ini, supaya orang lain tidak mengetahui. Akibat lebih lanjut adalah kehancuran keluarga itu. Mereka akan saling menyalahkan. Seluruh kehidupan normal keluarga akan tergoncang. Semua anggota keluarga akan terlibat dalam masalah ini.
Untuk mencegah kemungkinan kehancuran keluarga oleh katagihan narkoba ini, di dalam artikle ini saya sajikan beberap petunjuk praktis bagaimana mengetahui dan keterlibatan keluarga terhadap masalah yang sangat serius dan rawan ini.

Bagaimana Mengetahui bahwa anggota keluarga kecanduan Narkoba
Dari berbagai kasus yang ada, tidak ada satu anak pun yang berani mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka sedang coba-coba minum atau menggunakan narkoba. Yang sering terjadi bahwa mereka melakukan semua ini dengan sembunyi-sembunyi. Walaupn mungkin akibatnya coba-cobanya ini sudah begitu parah mereka tidak akan pernah mengatakan masalah ini kepada orang tuanya. Mereka takut di marah, mereka malu dan mereka tidak ingin merusak nama baik keluarga. Dan berbagai macam alasan lain dibuat. Banyak diantara mereka pada awalnya berusaha untuk mengatasi masalahnya sendiri, tetapi karena masalah ini adalah masalah serius, mereka yang sudah ketagihan berat tidak mampu melepaskan diri dari jerat obat maut ini. Berikut ini beberapa tanda yang menyertai mereka yang sudah ketagihan narkoba ini.
Orang tua harus selalu sadar bahwa kedekatan relasi dengan anak adalah faktor penting dalam membangun keluarga yang sejahtera. Betapa banyak orang tua dan keluarga melupakan hal ini. Mereka merasa sudah cukup berfungsi sebagai orang tua yang baik bila telah memberikan dan memenuhi segala kebutuhan materi anak-anak mereka. Selain itu perlu disadari pula bahwa awal dari kecanduan narkoba ini adalah datang dari ‘sifat anak muda yang suka berpetualangan’. Salah satu bentuk petualangan itu adalah keinginan untuk mencoba-coba sesuatu yang baru. Kebanyakan kasus dari anak mudah yang kecanduan obat ini adalah desakan dari teman untuk ‘mencoba dan ‘have fun’. Maka mengetahui apa yang dilakukan anak-anak pada hari-hari luang setelah sekolah usai adalah sangat perlu untuk menghindari kemungkinan coba-coba yang membawa maut ini. Kedekatan relasi hanya mungkin terjadi bila orang tua mempunyai waktu bagi anak-anaknya.
Masalah krisis ekonomi, moral, sosial yang mencabik-cabik kesatuan dan kesejahteraan negara yang berkepanjangan membawa dampak yang serius dalam keluarga kita. Pertengkaran dan ketegangan yang terjadi dalam keluarga sering dipicu oleh masalah kecil yang sepele. Perlu disadari bahwa anak-anak kita sudah merasa terlalu berat menghadapi berbagaii masalah dan tugas sekolah. Oleh karena sebaiknya hindari menambah masalah kepada anak yang tidak mungkin mereka bisa diatasi. Mereka sangat tergantung pada situasi di rumah. Mereka merindukan suasana damai dan tentram dirumahnya sendiri. Kalau suasan di rumah sudah membuat anak tidak merasa krasan, mereka akan lari mencari hiburan di luar. Bila anak-anak anda tidak betah di rumah, hal ini harus diwaspadai. Kemana mereka pergi, dengan siapa dan buat apa. Karena kebanyakan kasus ketagihan narkoba ini berawal dari melepaskan diri dari rasa stresss dan perasaan yang tidak enak yang mereka alami dalam hidup sehari-hari.
Bila orang tua merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri anak, misalnya menjadi suka pelupa, keadaan ini harus diwaspadai. Karena salah satu gejala yang menyerang mereka yang kecanduan narkoba ini adalah kehilangan memori atau daya ingat. Hal ini terjadi karena sistem kerja dari narkoba ini merusak sendi-sendi saraf otak manusia. Dan hal ini pula yang membuat mengapa banyak orang yang kecanduan narkoba tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Akibat lebih lanjut dari ketidak-mampuan mengontrol dirinya sendiri ini akan memunculkan berbagai masalah dalam keluarga. Jalan pikirannya sulit untuk dimengerti, mudah sekali tersinggung dan selalu menentang. Emosinya menjadi tidak terkendali dan suka marah-marah. Bisa jadi mereka menjadi plin-plan. Mereka berjanji untuk melakukan ini atau untuk tidak melakukan ini, tetapi dengan mudah janji itu akan dilanggar dan diingkari. Semua ini adalah pengaruh dari narkoba. Banyak anak muda yang tidak sadar akan adanya konswensi ini. Kalau sudah merasa kecanduan dan ingin mendapatkan kepuasan dari keinginannya ini maka segala cara akan ditempuh. Dorongan yang tidak terkendali inilah yang menjadi sumber masalah, bahkan tidak jarang menjadi kriminal atau sumber tindak kejahatan. Waspadailah bila anak-anak berubah menjadi ‘liar’ pembrontak dan berubah ke arah yang perkembangan yang negatif, tidak seperti sebelumnya.
Tanda lain yang membantu kita mengetahui apakah anak kita sudah ketagihan narkoba adalah memonitor tingkah-laku mereka, terutama berkaitan dengan perasaan. Perasaan dominan yang dialami oleh mereka yang sudah kecanduan adalah merasa sendirian, dan kecenderungan untuk menyendiri. Selain itu merasa takut menghadapi hidup ini, masalah-masalah kecil yang sebenarnya bisa selesaikan dengan mudah akan menjadi ‘complicated’. Mereka tidak mampu berpikir normal lagi, maka karena tidak mampu menyelesaikan masalah yang kecil sekalipun, akibatnya mudah depressi atau stress. Mereka merasakan perubahan ini, namun tidak mampu mengatasinya. Justru kesadaran bahwa dia tahu, tetapi tidak mampu mengatasinya membuat hidup mereka menderita lahir dan batin. Mereka menjadi kurang bergairah, lemat, letih dan lesu. Orang tua harus waspada dan harus bertindak bijaksana bila perubahan seperti ini terjadi.
Ketidakmampuan orang tua mengendalikan emosinya dan memahami masalah anak ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Anak kecanduan yang merasa tidak diterima, dan dicap sebagai pembuat onar dalam keluarga, menyebabkan aib dalam keluarga akan semakin lari dari kenyataan hidup dan narkoba akan semakin menjeratnya.
Pertanyaan lebih lanjut bisa kita kembangkan. Kalau kita sudah tahu bahwa anak-anak kami ketagihan narkoba lalu apa yang harus kami lakukan? Dalam artikle lanjutan saya akan menyampaikan beberapa petunjuk praktis bagaimana dan sejauh mana intervensi keluarga harus lakukan terhadap mereka yang sudah kecanduan narkoba ini.
Salam dan doa
MoTe

MASALAH BAPTISAN BAYI

Tlisan ini didorong oleh adanya pertanyaan yang diajukan oleh salah satu netter di salah satu mailinglist yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Bukanlah maksud saya, dengan tulisan untuk menjawab secara tuntas masalah disekitar baptisan bayi, tetapi lebih memberikan gambaran bahwa praktek baptisan bayi adalah salah satu kekayaan iman dalam ajaran dan liturgi Gereja Katolik. Jawaban yang diberikan oleh Gereja atas masalah baptisan bayi tidak sangat jelas dan fundamental. Tetapi lebih menekankan dan mengungkapan aspek manusiawi dan keagungan sifat dari baptisan itu sendiri. Semoga tulisan pendek ini bisa menambah wawasan kita untuk mengetahui praktek dan pentingnya baptisan bayi dalam Gereja Katolik.

1. Sejarah Baptisan
a. Sejarah awal
Upacara baptisan sejak jaman Kristen perdana dipahami sebagai suatu upacara inisiasi bagi mereka yang mau bergabung dengan Gereja. Hal ini menjadi jelas dari Kitab Suci bahwa orang dewasa yang mengakui imannya dan menerima Kristus menjadi bagian dan anggota suatu komunitas yang ditandai dengan baptisan. Namun perkembangan sejarah mengalami banyak perubahan dalam praksisnya. Misalnya, soal waktu baptisan mengalami perubahan dari 'segera saat' setelah orang mengalami pertobatan ke waktu hari Minggu dalam perayaan Ekaristi, lalu berkembang dalam perayaan Malam Paska. Demikian pula halnya dengan proses persiapan ditambahkan dan akhirnya diperanjang dalam apa yang disebut masa katekumenat. Dan baru pada sekitar abad ke II, anak-anak dimasukan dalam daftar calon-calon baptisan.
Ada berbagai alasan diberikan dalam kontek baptisan anak-anak. Satu alasan fundamental yang mendasari baptisan bayi adalah Johanes 3:3.5. Jesus menjawab, kataNya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah" dan "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah'. Alasan lain adalah masalah dosa Adam, atau dosa asal, yang diampuni dalam pembatisan bayi.
Pada abad ke V praktek baptisan bayi ini menjadi menjadi sangat umum, terutama di Gereja Barat. Dan pada akhir abad ke VIII baptisan bayi menjadi praktek biasa dikalangan Kekaisaran Roma, selain masih tetap dipertahankan adanya praktek baptisan dewasa dengan katekumenat sebagai persiapan. Dalam praktek mengalami pula perubahan arti sakramen baptis. Bapa Gereja mengatakan bahwa baptis adalah pengalaman kongkrit pertobatan orang dewasa, pernyataan keyakinan iman dan penerimaan status hidup yang baru. Para teolog jaman skolastik menulis bahwa para calon baptis tidak diselamatkan dari dunia kafir masuk ke Gereja ilahi, dari hidup dosa kepada pengampunan. Tetapi bahwa calon baptis diambil dari keadaan berdosa karena "dosa asal pada keadaan berahmat"

b. Pra Vatikan II
Baptisan bayi menjadi masalah yang rumit ketika jaman reformasi. Hal ini terjadi karena perubahan pengertian akan Gereja dan pemahaman akan arti rahmat dan iman dalam kehidupan kristiani. Kelompok "Anabaptist" secara tegas menolak praktek baptisan bayi. Luther sendiri tidak menolak. Sedangkan dikalangan para Calvinist mempertanyakan keberadaan dan arti baptisan bayi ini. Bagi mereka, mungkin bayi memang harus dibaptis, tetapi dalam prakteknya mereka tidak melakukan itu.
Gereja Katolik menanggapi masalah ini dalam konsili di Trente, namun mereka tidak menjawab pertanyaan fundamental mengenai baptisan bayi ini. Konsili justru menuduh mereka sebagai 'heretik'. Dalam perkembangan selanjut, terutama dalam isu 'dialog' masalah ini menjadi semakin membutuhkan perhatian dan jawaban. Dikalangan para uskup, terutama semakin menyadari masalah ini, dan melihat perlu adanya katekese dan diikuti dengan pelaksanaan sakramennya.
Akhirnya, keprihatian para uskup terhadap masalah ini terjawab dalam gerakan pastoral liturgi pada abad 20-an. Gerekan ini mengadakan tiga point pembaharuan dalam seluruh proses inisiasi Katolik, yakni masalah perayaan, katekese atau pengajaran dalam proses persiapannya dan akhirnya perubahan ritus dalam penerimaan sakramen.

c. Vatikan II
Konstitusi Liturgi memberi perhatian yang sangat serius pada sakramen inisiasi, demikian juga pada masalah liturgi baptisan bayi. Tugas dan kewajiban orang tua dan bapak-ibu baptis mendapat perhatian dan peranan sangat khusus. Pembaharuan liturgi ini mendapat tanggapan yang sangat antusias terutama di paroki-paroki di Amerika. Namun tidaklah demikian diantara para ahli teologi dan tingkat academik. Di Eropa dan kemudian diikuti oleh Amerika, para ahli mencoba untuk mencari alasan teologi terhadap praktek baptisan bayi ini. Perhatian para teolog dan ahli pastoral terfokus pada masalah iman. Mereka menyatakan bahwa masalah baptisan bayi adalah semata-mata masalah iman orang tua dan Gereja. Dalam budaya dimana Gereja dan negara menjadi satu, hal ini tidak menjadi masalah. Dalam pembaptisan dewasa, para calon baptis menyatakan imannya secara langsung. Tetapi ketika dunia menjadi sekular, terutama diakhir abad 20-an, masalah menjadi mendesak dan penting. Ketika orang tua tidak mampu menunjukkan bukti akan komitmen terhadap imanya. Ketika orang tua kurang mampu menyadari fungsinya sebagai orang tua, serta tidak mampu memberi jaminan masa depan anaknya, masalah baptisan bayi menjadi pertanyaan yang sangat serius.
Sementara banyak artikle mendukung 'legitimacy' baptisan bayi, namun banyak juga yang kurang antusias terhadap masalah ini. Timbul berbagai macam pertanyaan yang diajukan kepada Kongregasi dibidang doktrin dan iman untuk segara bisa dijawab, sehingga meyakinkan umat akan kebenaran praktek Gereja Katolik akan Baptisan bayi. Pertanyaan yang diajukan disekitar keberatan baptisan bayi adalah: rahmat yang ditawarkan dalam sakramen "seharusnya diterima dan diyakini oleh yang menerimanya, penekanan pada kebebasan pribadi menyangkut masa depan iman si bayi; keaneka-ragamanan budaya dan sosialitas dimana bayi akan diasuh dan dididik; perlunya pewartaan dan pejelasaan kepada orang dewasa akan adanya praktek baptisan bayi.
Perdebatan terjadi untuk menjawab pertanyaan ini. Dan akhirnya Gereja memberikan dalam petunjuk pastoral memberikan dua jawaban fundamental terhadap pertanyaan diatas: Pertama-tama bahwa rahmat dan karunia yang terkandung dalam sakramen baptisan, tidak boleh ditunda diterimakan kepada seorang bayi. Kedua bahwa harus ada jaminan yang pasti bahwa karunia dan rahmat sakrament bisa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan dan pengaruh lingkungan kehidupan Kristiani yang akan diberikan. Bila jaminan ini tidak terpenuhi, maka baptisan harus ditunda, bahkan baptisan bayi boleh ditolak.
Jawaban lebih detail terhadap permasalah baptisan bayi, diberikan oleh Gereja dalam petunjuk pastoral akan liturgi baptisan bayi. Disitu ditekankan lebih dalam lagi peranan orang tua dan berbagai macam aspek, tanda dan keterlibatan umat sebagai bagian penting dalam baptisan bayi.
Salam dan doa
MoTe

ANAK ADALAH KASIH ALLAH

Dari pengalaman saya melayani pastoral perkawinan ini, saya bisa menghitung dengan jari berapa calon mempelai yang secara langsung mengungkapkan harapannya, bila dikarunia anak mereka ingin supaya diantara mereka ada yang 'terpanggil' untuk menjadi iman, biarawan-biarawati. Dengan menyebut nama Tuhan dalam kontek 'membicarakan anak' dalam pembicaraan itu saya hanya ingin menyampaikan harapan gereja, dan mengajak calon orang tua itu untuk menyadari apa artinya menjadi orang tua dan bagaimana mereka bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka.
Iman gereja katolik sejak dulu mengakui bahwa anak itu adalah karunia, buah kasih (bukankah Allah itu adalah kasih). Orang Jawa menggunakan ungkapan, anak adalah "titipan Dalem". Dari keyakinan ini nampak bahwa anak memang semata-mata bukan 'milik' mutlak orang tuanya. Tetapi merupakan karunia dan buah kerja sama antara Allah dan manusia dalam karya penciptaan. Terus terang banyak orang tua yang tidak memahami ini. Bahkan ada orang tua yang berpendapat bahwa anak itu adalah "akses atau jaminan masa depan". Artinya dengan melahirkan, mendididik dan membesarkan anak mereka berharap dan mempunyai maksud agar masa tuanya nanti terjamin. Well, itu baik hanya kalau orang tua hanya berpikir mengenai masa depannya sendiri, maka kebebasan anak tidak akan bisa terjadi. Yang terjadi, mereka memaksakan kehendaknya kepada anak, misalnya dalam hal memilih sekolah, dll. Anak selalu dianggap 'anak kecil' yang tidak dan belum tahu apa-apa. Sebagaimana disebut dalam tujuan perkawinan, tugas orang tua itu mendidik anak. Pendidikan anak ini pada hakekatnya membantu anak (bukan menguasai) menumbuhkan dan memperkembangkan dirinya menjadi manusia dewasa secara manusiawi dan kristiani sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.
Dengan bertumbuhnya umur, dan berkembanganya kedewasaan baik secara rohani maupun jasmani, anak akan tahu apa yang menjadi tugasnya. Saya menyinggung tugas orang tua selesai dan kemudian menjadi milik Tuhan....!! Lebih saya kaitkan dengan keluarga sebagai "gereja mini" dan sekaligus sebagai "seminari kecil". Bila dalam keluarga tradisi, kebiasaan hidup kristiani, teladan baik dari orang tua menjadi acara hidup mereka, benih panggilan itu akan tumbuh dari sini. Apalagi bila dalam hati orang tua menginginkan supaya diantara anaknya ada yang terpanggil, dan mengkondisikan keluarganya seperti itu, panggilan itu akan tumbuh. Walaupun tetap bahwa anak bebas menentukan masa depannya sendiri. Boleh percaya atau tidak, dari sekitar tujuh puluh persen orang yang membaktikan diri menjadi imam, biarawan-biarawati, adalah mereka yang sejak kecil 'berkutat' disekitar altar lo...jadi misdinar itulah yang paling banyak. Kiranya cukup sekian dulu, maaf bila terlalu panjang, terima kasih atas sharingnya.
Setelah kita melihat pandangan gereja tentang perkawinan dan masalahnya, sampailah kita pada ajaran perkawinan menurut Konsili Vatikan II. Hal ini bisa diketemukan dalam konstitusi "Gaudium et Spes". Namun sebelum kita lihat lebih detail apa yang dikatakan oleh konstitusi, baiklah kita perubahan pengertian perkawinan sebagai akibat debat yang terjadi pada masa itu.
Pada waktu itu, muncul dua pandangan berbeda mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga, yang akhirnya dua pandangan ini bertemu dalam konstitusi Gaudium et Spes. Dua pandangan itu adalah melihat perkawinan sebagai persekutuan cinta kasih dan dilain pihak melihat perkawinan sebagai lembaga prokreatif. Perbedaan pandangan mengenai hakekat perkawinan ini mempunyai akibat pada perbedaan pandangan mengenai hakekat hubungan seks suami-istri. Pandang pertama melihat hubungan seks suami-istri sebagai ungkapan cinta, dan yang lain menekankan makna prokreatifnya. Dampak yang jelas dari perbedaan hakekat dan akibatnya ini nampak sekali pada perdebatan mengenai moralitas pencegahan kehamilan. Maksud konstistusi Gaudium et Spes mau meneguhkan kembali padangan kristen mengenai keluhuran dan kesucian perkawinan, dan menghimbau umat kristen untuk membaharui semangan kristen dalam bidang perkawinan dan hidup berkeluarga. Hal yang baru dalam konsili Vatikan II mengenai perkawinan ini adalah pandangan teologisnya, bahwa perkawinan merupakan suatu 'perjanjian", padangan ini lebih biblis.
Konstitusi diawali dengan melihat kenyataan kongkrit yang terjadi disekitar masalah perkawinan. Mereka menyatakan bahwa martabat perkawinan telah dikabutkan oleh poligami, perceraian, cinta bebas dan penyelewengan lainnya. Cinta pernikahan diperkosa oleh cinta diri, hedonisme dan prakte kontrasepsi yang tak halal.
Konsili menegaskan kembali beberapa pokok ajarannya. Persatuan hidup dan cinta kasih suami-istri yang mesra, yang diciptakan oleh Pencipta dan dilengkapi dengan hukumNya, diwujudkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Allah sendirilah pendiri nikah yang dilengkapi dengan pelbagai nilai dan tujuan. Kristus menemui suami-istri kristen melalaui sakramen nikah. Tuhan telah memulihkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih suami-istri dengan anugerah rahmat dan cinta kasih suami-istri dengan anugerah rahmat dan cinta kasih khusus yang dinyatakan dan dilaksanakan secara istimewa dalam hubungan seksual. Cinta kasih ini disahkan terutama oleh sakramen.
Nikah dan cinta kasih suami-istri dari kodratnya terarah untuk mengadakan dan mendidik keturunan. Maka pembinaan cinta itu bertujuan agar suami-istri bersedia dengan jiwa yang mantap bekerja sama dengan cinta kasih Pencipta dan Juruselamat. Dalam tugas itu, suami-istri tidak boleh bertindak sekehendak hati melainkan selalu harus dibimbing oleh hatinurani, sambil bersikap terbuka terhadap magisterium Gereja. Seringkali jumlah anak tidak dapat ditambah tanpa kesulitan. Namun sejak pembuahan kehidupan harus dilindungi. Pengguguran dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang paling keji. Dalam mengatur pengadaan keturunan, putra-putri gereja tidak boleh mengikuti jalan yang dicela oleh Magisterium. (lihat art.47-51) Kalau ingin lebih mendalami and bisa membaca bukunya Rm. Purwa Hadiwardoya msf, berjudul"Perkawinan dalam Tradisi Katolik" yang menjadi sumber penulisan saya ini.
salam dan doa
MoTe

Friday, February 24, 2006

“Masalah Perkawinan dan Kontrasepsi”

Perkenanlah saya sedikit membagikan pengetahuan saya kepada mas dan mbak atau anggota netter lain yang ingin tahu. Berhubungan dengan keluarga berencana ini ada beberapa hal yang harus kita pikirkan sebelum seseorang atau menentukan sikapnya. Yang harus mendahului pikiran kita adalah masalah prinsip, methode dan aspek moral.
Pertama-tama kita harus menyadari bahwa masalah keluarga berencana menjadi eksistensial bila keluarga sudah mengalami tahap prokreasi ini selesai. Prinsip yang harus dipegang, supaya kehidupan keluarga menjadi bahagia adalah bahwa penentuan jumlah anak, merupakan hasil dari keputusan bersama antara suami dan istri. Jangan paksakan kehendak dengan mengikuti apa yang menjadi tuntutan umum, sementara suara hatinya tidak setuju dengan hal itu. Mau punya anak dua, tiga empat lima dsb, sejauh bisa membiaya, bertanggung jawab dan membuat anak mempunyai masa depan yang baik, itu adalah hak dari suami istri. Pihak lain boleh dan bisa ikut campur sejauh itu ada kaitannya dengan masalahnya, misalkan dalam hal ini pemerintah memberi batasan bahwa hanya dibolehkan dua anak, karena masalah pembatasan jumlah penduduk.
Selain itu, sebelum seseorang menentukan keputusan dalam hal ini, perlu dipikiran dengan serius mengenai metoda yang digunakan, perlu dihindari sikap-sikap yang ekstrem dan harus dilihat bahwa metoda adalah sarana untuk tujuan yang lebih tinggi. Jangan mengorbankan tujuan demi sarana, dan ini sangat penting pula karena sarana menentukan keberhasilan KB. Oleh karena itu, sebelum keluarga menentukan alat dan metode apa yang akan digunakan dalam membatasi jumlah anak, perlu mengetahui dulu intervensi alat-alat itu dalam proses prokreasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada dua metode yang kita kenal digunakan untuk membatasi jumlah kelahiran ini. Pertama adalah KB Alamiah yang mempunyai banyak sekali metode, dan salah satunya yang sekarang ini sedang gencar diajarkan oleh si tukang nglamun yang programer itu. Dan yang lainnya yang kiranya lebih banyak menimbulkan masalah adal KB buatan.
Campur tangan manusia dalam proses reprodoksi ini dibedakan dalam dua kategori, yaitu pada saat sebelum pembuahan dan sesudah pembuahan. Yang termasuk dalam saat sebelum pembuahan adalah Keluarga Berencana Alamiah dan kotrasepsi. Dalam kontrasepsi dibedakan cara senggama, (1) mekanis, dengan kondom, pesar, busa dll. (2). Hormonal yaitu pil, susuk, suntikan. (3) Operatif, yaitu vasektomi dan tubektomi. Sesudah pembuahan dibagi dalam dua kategori, yaitu sebelum nidasi, suatu tindakan antinidatif dengan menggunakan morning after pil atau IUD, dan sesudah nidasi tidakan abortif langsung.
Penilaian terhadap campur tangan manusia dalam proses prokkreasi, bila dilakukan pada tahan sesudah pembuahan, tidak bisa lagi disebut pencegahan melainkan sudah dikatogorikan 'menghentikan hidup baru. Dasar penilian, terutama dalam gereja Katolik, berpegang pada posisi bahwa saat yang paling menentukan dalam awal hidup manusia adalah "PEMBUAHAN", maka hidup harus dilindungi sejak saat pembuahan. Dan inilah titik awal kehidupan menurut moral katolik. Tindakan sebelum pembuahan bisa disebut "pencegahan", namun dari sudut moral harus dibedakan antara kontrasepsi dan KB alamiah.
Sehubungan dengan kontrasepsi, para pemimpin gereja Katolik tidak membenarkan cara ini. Alasan yang mendasari adalah dianggap melawan hukum kodrat, artinya bertentangan dengan arti dan tujuan kemampuan seksual karena 'menggagalkannya'. Yang kedua adalah makna prokreatif dan unitif tak boleh dipisahkan. Tubektomi dan vasektomi atau atau semua tindakan sterilisasi yang bersifat permanen, mantap untuk selamanya dilarang keras oleh gereja.
Masalah kita di Indonesia terjadi karena tuntutan pemerintah terhadap suksesnya program pemerintah untuk mengurangi dan membatasi mekarnya jumlah penduduk. Dan dalam hal KB buatan, pemerintah tidak mempunyai pertimbangan moral sebagaimana gereja katolik berikan. Mereka hanya ingin supaya program ini bisa sukses. Di sinilah orang katolik mengalami banyak kesulitan, mau setia pada ajaran gereja, akibatnya disisihkan oleh pemerintah karena dianggap tidak mengikuti program pemerintah yang wajib itu. Sedangkan untuk taat pada pemerintah, seringkali suara hati mengatakan tidak bisa, dalam hal ini Humanae Vitae memberi banyak sumbangan pemikiran yang dalam situasi kita memang sulit diterapkan. Oleh karena itu untuk membantu kita dalam proses pengambilan suara hati nurani yang membantu suami istri mengambil keputusan, seorang ahli moral dari Malang memberikan beberapa pemikiran: (mungkin bisa juga memberikan jawaban dari pertanyaan Berdosakah??)
1. Kalau manusia menghadapi aneka nilai yang tidak dapat diwujudkannya serentak, maka ia harus mengindahkan skala nilai-nilai, artinya mengutakan nilai yang lebih tinggi diatas nilai yang lebih rendah lainnya.
2. Kalau kita menghadapi semua keburukan yang tak semuanya dapat dihindari, maka sebisa-bisanya kita menghindari keburukan yang lebih besar dan 'membiarkan' yang seringkali berarti 'memilih' keburukan yang lebih kecil atau "minus malum". Misalnya dalam kaitannya dengan kb, pengguguran hidup jelaslah lebih buruk bila dibandingkan dengan kontrasepsi.
3. Suami istri perlu mempertimbangkan, berapa anak yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan memperhatikan aneka situasi dan kondisi keluarga, kepentingan gereja dan masyarakat. (NB: Gereja perlu tenaga full time lo...dan panggilan untuk itu hanya bisa datang dari keluarga kita)
4. Bila suami-istri merasa dan akhirnya berkesimpulan dengan bulat, bahwa kehamilan berikutnya tidak dapat dipertanggung-jawabkan, maka timbul soal metode apa yang paling memadai dari sudut medis.
5. Perlu juga dipertimbangkan, apakah metode itu dapat dipertanggung-jawabkan juga dari sudut moral dengan mengindahkan norma obyektif yang diajarkan Magisterium sambil dituntun hatinurani yang terbina.
Bagaimana kita umat katolik (Indonesia) harus bersikap dalam menghadapi kesulitan khusus ini. Secara tegas harus dipegang, bahwa Magisterium mengajarkan bahwa yang dibenarkan oleh gereja hanyalah KB alamiah. Posisi ini memang tidak berdasarkan pada ajaran Kitab Suci, melainkan hukum kodrati, yang pada dasarnya terbuka bagi penalasan akal budi, jadi bukan pokok iman. Dan terus terang pergumulan masalah ini tidak selesai sejak Humanae Vitae hingga sekarang ini.
Para Uskup Indonesia pada tahun 1968 mengedarkan surat edaran yang diikuti oleh Penjelasn Pastoral MAWI (sekarang KWI) yang menyatakan kalau metode KB alamiah tidak mungkin, dalam keadaan terjepit suami istri tak usah merasa bersalah bila memakai metode lain. Asalkan tetapi menghormati martabat wanita dan bukan sterilisasi tetap. Jadi bagi kita, terutama keluarga katolik muda, yang masih berpikir berapa jumlah anak yang diinginkan, kapan saat mereka memikirkan dan memutuskan untuk tidak menambah jumlah anak. Pertimbangan pertama yang harus dibuat adalah cari informasi secepat mungkin lembaga yang menawarkan kurus kba, coba dan jalani metodenya, bila akhirnya tetapi tidak berhasil, pilihlah salah satu metode kontrasepsi yang paling tepat menurut kondisi anda sebagai suami istri setelah melewati pemeriksaan medis yang benar. Jangan pernah berpikir dan mencoba untuk menggunakan strerilisasi tetap, baik itu tubektomi maupun vasektomi. Bagi mereka yang sudah terlanjur menggunakan cara ini, karena ketidaktahuannya, banyaklah berdoa, menerima sakramen dan berbuat amal kasih. Dan jangan pernah menyiksa diri anda dengan perasaan bersalah atau berdosa.

"MENDIDIK ANAK YANG BAIK" (3)

Kembalikan anak-anak kepada Allah dan Gereja

Selain pendidikan yang diterima dari bapak dan ibuNya, Jesus juga belajar banyak hal dari lingkungan di mana Ia hidup, terutama sinagoga. Di sinagoga inilah Jesus mendapatkan pendidikan tentang hidup keagamaan, belajar Kitab Suci dan segala tradisi agamaNya. Dari kebiasaan ini nampak bahwa sinagoga mempunyai peranan penting dalam perkembangan hidup dan kepribadian Jesus.
Agama kita meyakini bahwa anak itu adalah karunia dari Allah. Anak diterima sebagai ‘titipan’ Allah yang dipercayakan kepada keluarga. Sebagai ‘titipan’ Allah hak orang tua adalah merawat, mendidik dan membesarkan supaya ia tumbuh menjadi anak-anak baik sesuai dengan kehendak Allah. Kesadaran bahwa anak adalah karunia, ‘titipan’ Allah akan membantu orang tua untuk ‘melibatkan Allah’ dalam pendidikan anak-anak. Pada kenyataanya harus diakui bahwa kesadaran dan usaha untuk melibatkan Allah dalam mendidikan ini banyak dilupakan oleh banyak keluarga.
Dari fenomena keluarga muda yang menunda memintakan baptisan kepada anaknya sebenarnya merupakan suatu tanda-tanda yang selayaknya mendapat perhatian. Dengan alasan yang nampaknya begitu baik, yakni ‘iman adalah tanggung jawab pribadi’, jangan memaksa iman kepada mereka. Dengan alasan ‘biarlah anak menentukan apa yang paling baik bagi hidupnya sendiri dan halangi kebebasannya’ tersirat suatu ketidaktahuan orang tua akan nilai iman yang telah diyakini. Kebahagaian orang tua adalah bila melihat anaknya bahagia dan berhasil. Orang tua rela berkorban mati-mati demi kebahagiaan anak-anaknya. Padahal bila disadari dengan sungguh-sungguh kebahagian sejati itu justru terletak pada iman akan Allah yang dialami sebagai yang mencintai dan menyelamatkan lahir dan batin, surga dan dunia. Membaptiskan anak sejak awal bukanlah membatasi kebebasan anak untuk menentukan imanya, tetapi merupakan sharing kebahagiaan kepada anak dari orang tua yang sungguh mencintai anaknya. Sharing kebahagian itu adalah membagikan keselamatan yang telah diyakini dan dialami oleh orang tuanya dalam iman yang dimiliki. Selain hal ini membaptiskan anak sejak bayi juga merupakan ungkapan tanggung-jawab kesanggupan orang tua atas janji yang diucapkan ketika mereka menikah.
Mengembalikan anak kepada Allah berarti semakin menyadari bahwa Allahlah yang memiliki anak kita. Sementara orang tua sebagai orang yang ‘dititip’ bertanggung-jawab memperkenalkan Allah kepada anak-anaknya. Gereja menjadi tempat yang paling tepat untuk membawa anak untuk mengenal dan menemukan Allah. Sebagaimana sinagoga menjadi tempat Jesus mendapatkan pendidikan iman, norma dan keagamaan, demikianlah pula halnya dengan Gereja. Dalam Gereja kita menemukan begitu banyak aktivitas yang membantu anak-anak mengenal Allah yang mencintai.
Program untuk anak-anak usia pra sekolah dan usia sekolah dalam kegiatan sekolah minggu, play group, misdinar, legio Maria dan lain-lain merupakan tawaran Gereja kepada anak-anak kita untuk mencintai Allah, Gereja dan sesamanya. Nilai-nilai moral, sopan santun, tanggung-jawab, kesetiaan merupakan nilai yang sejak dini ingin ditanamkan kepada mereka. Sayang bahwa banyak keluarga Katolik yang tidak menggunakan kesempatan ini sebagai sarana pelengkap dalam pendidikan anak-anaknya. Demikian pula dengan aktivitas mudika dengan berbagai macam bentuk kegiatan, seperti misalnya rekoleksi, seminar, retret, pendalaman iman, olah raga, latihan koor, camping dll merupakan pendidikan non formal yang tidak pernah dilirik oleh kebanyakan orang tua. Padahal dalam aktivitas itu anak-anak kita bisa belajar banyak hal yang tidak diterima dalam pendidikan formal.
Dari pengalaman pendampingan anak-anak dan orang muda, kami bisa mengatakan bahwa mereka yang terlibat dalam aktivitas Gereja ini biasanya lebih teguh imannya. Selain itu rasa solidaritas dengan sesamanya begitu kuat, menjadi lebih peka dan penolong bagi mereka yang memerlukan. Perjumpaam mereka dengan teman-temannya dalam kelompok mereka membuat hidup sosialitas mereka semakin berkembang. Bakat dan talenta mendapat tempatnya untuk semakin berkembang. Dan satu hal yang tidak kalah penting adalah bahwa kedekatan mereka dengan Tuhan dan teman seiman membuat anak-anak menjadi ‘tahan banting’ dan tidak mudah tergoda oleh pengaruh narkoba
Mengembalikan anak kepada Allah dan Gereja akhirnya harus dikatakan bahwa orang tua bertanggung-jawab membawa anak-anak mencintai Allah dan Gerejanya. Memberikan waktu dan dorongan kepada mereka untuk mengenal aktivitas yang ditawarkan sesuai dengan ‘interese’ anak kita. Dengan demikian diharapkan bahwa keseimbangan perkembangan pribadi anak menjadi lebih lengkap. Dalam arti bukan hanya berkembang dari segi intelektual tetapi juga dalam kepribadian dan iman.

Menghidupkan kembali budaya Katolik dalam keluarga
“Biar kanak-kanak itu datang kepadaKu” sabda Jesus ketika ibu-ibu membawa anak-anaknya namun dilarang oleh para muridNya. Lalu Jesus memberkati mereka. Berkat dalam tradisi Kitab Suci merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Berkat menjadi tanda bahwa hidup manusia ditentukan pula oleh campur tangan Allah. Berkat menjadi tanda bahwa Allah merestui dan menyertai orang itu. Yakub dan Esau saling berebut berkat dari Isak ayahnya. Mereka meyakini barang siapa pun diantara mereka yang mendapatkan berkat dari ayahnya akan mewarisi seluruh kekayaan dan menerima restu dan berkat Allah sendiri.
Dahulu ada kebiasaan yang baik yang selalu dilakukan oleh keluarga katolik, namun rasanya sekarang ini sudah jarang dilakukan lagi. Kebiasaan itu adalah memberi berkat kepada anak-anaknya sebelum tidur, ketika bangun dari tidur dan ketika anak meninggalkan rumah dengan memberi tanda salib pada dahi anak-anaknya. Kebiasaan ini menjadi ungkapan iman dan kepasrahan mereka kepada Tuhan. Menyerahkan anak-anaknya dalam tangan Tuhan membuat hidup mereka menjadi terarah dan terjamin. Mereka juga menyadari bahwa melibatkan Tuhan dalam hidup anak-anaknya adalah perlu dan penting karena anak adalah milik Allah.
Kebiasaan baik ini hilang dalam kehidupan keluarga kita. Kesadaran orang tua terhadap peranan Allah menjadi menipis. Mereka merasa bahwa mereka mampu memberikan pendidikan anak berdasarkan pada ilmu yang mereka miliki. Menyadari pentingnya Tuhan dalam pendidikan anak, belajar pula dari kebiasaan Kitab Suci kiranya tidak salah bila kita kembali kepada budaya kristen yang baik ini.
Ketika Jesus masih bayi, Jesus dipersembahkan di bait Allah. Persembahan ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban hukum Taurat. Setiap keluarga baru yang mempunyai anak pertama, wajib mempersembahkan anaknya itu kepada Allah. Orang Isreal meyakini bahwa semua anak sulung, baik binatang maupun manusia itu adalah hak Allah. Mereka harus dipersembahkan dan disucikan serta ditebus. Demikian pula yang dilakukan oleh keluarga Nasareth. Mereka mempersembahkan Jesus dan membawa tebusan berupa burung terkukur.
Dalam buku-buku doa Katolik, ada ‘doa persembahan keluarga kepada…’ Namun demikian banyak kelaurga Katolik yang tidak tahu itu. Mempersembahkan keluarga kepada Allah mengungkapkan keyakinan kita bahwa keselamatan kita itu ada di dalam Allah. Perlindungan dan kehadirannya membuat hidup menjadi indah dan membahagiakan. Penderitaan dan kesulitan menjadi ringan ditanggung karena kesadaran bahwa kita tidak sendirian. Kayakinan akan Allah yang memberkati dan hadir dalam hidup kita membuat penderitaan dan kesulitan menjadi berkat.
Akhirnya belajar dari tradisi Kitab Suci, kita bisa melihat bahwa doa, hidup bersama dan menciptakan kondisi rumah aman dan nyaman menjadi penting. Seluruh kebijaksanaan dan kehidupan relegius Jesus di dapat bukan dari sekolahan formal. Semua itu diperolehnya dari orang tua dan lingkungan sinagoga. Oleh karena itu kira belum terlambat untuk memulai. Kembalikan anak kepada orang tua dan rumah merupakan upaya untuk menghindari ‘generasi rusak’ masa depan. Mengembalikan anak kepada Allah dan Gereja menjadi salah satu solusi untuk menanggapi ‘degradasi moral’ yang semakin memprihatinkan. Menumbuhkan kembali kebiasaan atau budaya Kristiani di dalam rumah, membuat rumah menjadi sel Gereja terkecil yang kokoh. Semoga dengan demikian cita-cita setiap keluarga untuk mengalami hidup yang bahagian dan sejahtera semakin menjadi kenyataan. Negara yang kokoh kuat, aman dan damai menjadi wujud lebih lanjut dari kebahagaian keluarga kita.
Sekarang inilah saat untuk memulai kembali. Merupakan tanggung jawab setiap orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik dan bijak kepada anak-anaknya. Kita tidak bisa saling menyalahkan dan mengandaikan, tugas mendidik anak adalah tanggung-jawab bersama. Apa yang tidak diperoleh di bangku sekolahan harus diberikan dilingkungan rumah. Dan sebaliknya apa yang tidak diperoleh di rumah dan lingkungannya, semestinya menjadi tanggung-jawab pendidik di sekolah. Dengan kesadaran ini diharapkan bahwa pendidikan anak menjadi baik, bukan hanya karena metodenya, tetapi juga hasilnya. Keprihatinan akan ‘generasi mendatang yang rusak’ tidak lagi menjadi kekawatiran dan ketakutan, melainkan menjadi tantangan yang membuat kita lebih refleksif dan kreatif. Keluarga Nazareth menjadi salah satu inspirasi untuk terus menerus menggali kekayaan Gereja dan teladan mendidik anak yang baik.

Rm. V. Teja Anthara scj

“MENDIDIK ANAK YANG BAIK” (2)

Kembalikan Anak ke Rumah dan Orang tuanya
Dari penjelasan Kitab Suci kita bisa belajar banyak bagaimana seharusnya kita mendidik anak-anak kita. Satu fenomena yang sekarang ini menjadi keprihatian kita bersama adalah hilangnya anak dari rumah kita. Bagi kebanyakan anak rumah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman, yang memungkinkan mereka bisa belajar hidup. Rumah tidak lagi dirasa dan dialami sebagai ‘home sweet home’. Banyak anak menjadikan semacam ‘warung’ tempat mereka singgah dan pergi hanya untuk kepentingan sesaat. Tentu fenomena ini bukan tanpa alasan. Kesibukan kedua orang tua mencari nafkah, menghabiskan seluruh waktunya di luar rumah menjadi alasan mengapa anak tidak krasan tinggal di rumahnya sendiri. Mereka merasakan kesepian seorang diri, tidak ada orang yang bisa diajak bertukar rasa dan pengalaman. Orang tuanya, yang semestinya menjadikan suasana rumah hidup dan bergairah tidak pernah ditemukan. Keceriaan yang diharapkan menjadi warna kehidupan rumah seperti mimpi indah yang tidak mungkin bisa dialami.
Harus diakui pula bahwa banyak orang tua yang sebenarnya kurang atau tidak siap dan mampu menjadi orang tua. Mereka kurang tahu bagaimana seharusnya ‘berfungsi’ sebagai orang tua. Mereka menjadi sibuk dengan diri sendiri dan karirnya. Seringkali dengan alasan yang nampaknya baik, ‘bekerja keras demi kebahagiaan keluarga’ mereka tanpa sadar justru berbuat sebaliknya. Ketidak-hadiran mereka dalam keluarga, tersitanya seluruh waktu untuk aktivitas di luar rumah membuat anak justru kehilangan waktu, perhatian dan kasih mereka. Lebih parah lagi bahwa ada orang tua yang mempunyai prinsip yang kurang tepat. Mereka menganggap tugas orang tua sudah terpenuhi bila mereka telah memberikan segala kebutuhan materi kepada anak-anaknya. Mereka lupa bahwa anak tidak hanya butuh uang dan materi, tetapi kasih dan perhatian.
Kembalikan anak-anak kerumah dan orang tuanya. Kiranya anjuran ini bukanlah tanpa alasan. Belajar dari pengalaman hidup Jesus dan tradisi Kitab Suci menjadi jelas bagi kita bagaimana rumah dan orang tua mempunyai fungsi yang sangat menentukan bagi berkembangan hidup dan kepribadian anak-anak.
Mengembalikan anak ke rumah, bukan berarti membuat anak berdiam seorang diri, menjadi sibuk dengan fasilitas modern yang disiapkan oleh orang tua. Diam di rumah bukan berarti menghabiskan waktu dengan duduk di depan komputer, nitendo, internet, tv, vcd player dan segala alat-alat mewah yang menyenangkan. Anak memang ada di rumah namun kehadiran di rumah menjadi ‘mati dan diam’ karena mereka sibuk dengan sendirinya sendiri. Mengembalikan anak diam dan tinggal di rumah adalah membuat anak merasa bahwa rumah adalah tempat mendapatkan keteduhan dan perlindungan dikala mereka lelah dalam mempersiapkan diri untuk masa depannya. Menjadikan rumah tempat untuk belajar hidup, belajar moral, sopan santun dan merasakan dan mengalami kasih yang dicurahkan oleh orang tua.
Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang berusaha hadir bersama anak-anaknya. Mereka yang terus berusaha mengikuti perkembangan pribadi anak-anak. Mereka yang selalu mempunyai hati dan kasih dan berusaha memahami dan mengerti pergolakan yang sedang di alami oleh anak-anaknya. Mereka yang sungguh bisa dan berusaha hadir dikala anak-anaknya membutuhkan dukungan dan doa. Yang bisa diajak omong, menjadi bapak dan ibu, tetapi sekaligus bisa menjadi sahabat tempat curahan hati di kala beban hidup meresa berat. Kemampuan orang tua mengkomunikasikan dirinya menjadi syarat utama terciptanya kondisi seperti ini. Teladan hidup merupakan sarana paling ampuh dalam mendidik anak-anaknya. Menghargai, memuji dan mengakui hasil karya yang dihasilkan oleh anak akan menumbuhkan kepercayaan diri. Memberikan kepercayaan kepada anak merupakan langkah membuat anak menjadi semakin dewasa dan bertanggung-jawab.
Mengembalikan anak ke rumah berarti menghargai dan menerima hak-hak anak. Membiarkan mereka mengalami dunianya sebagai anak. Betapa sering dalam kehidupan, kita melihat orang tua yang memberikan begitu banyak beban kepada anak-anaknya dengan alasan masa depan. Memaksa anak mengambil les ini dan les itu, sehingga seluruh waktunya habis untuk hal yang kadang kala bukan apa yang dibutuhkan oleh anak itu. Memberikan kesempatan kepada anak untuk mempunyai waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Menikmati dunianya dengan segala kebebasannya tanpa merasa takut dengan adanya berbagai macam larangan dan ancaman dari orang tua.
Mengembalikan anak ke rumah berarti membuat orang tua menjadi sadar bahwa pendidikan anak-anak bukan hanya masalah sekolah. Tetapi membuat orang tua menjadi semakin yakin bahwa guru utama anak-anak di lingkungan rumah adalah dirinya sendiri. Perkembangan kehidupan moral dan keagamaan anak sangat tergantung dari peranan orang tua menjadi guru bagi anaknya ini. Selain tugas orang tua menjadi guru utama di rumah, unsur lain yang kiranya juga tidak bisa diabaikan sebagai tugas adalah menciptakan kondisi rumah menjadi asri. Bukan hanya asri dari segi keindahan dan kebersihan tetapi asri dan nyaman dari situasi relasi kedua orang tuanya. Dengan segala kondisi di atas ini diharapkan bahwa harapan orang tua menjadikan anak yang baik, taat patuh kepada orang tua, berbakti kepada negara, bangsa dan Gereja bukanlah harapan yang mustahil, tetapi sungguh akan menjadi suatu kenyataan bagi setiap keluarga kristiani.

“MENDIDIK ANAK YANG BAIK” (1)

(Belajar dari Tradisi dalam Kitab Suci)

Generasi yang ‘rusak’
Beberapa ahli berpendapat bahwa krisi total yang berkepanjangan yang dialami oleh bangsa ini akan membawa akibat rusaknya suatu generasi masa depan. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa faktor. Pertama krisis ekonomi membuat kebutuhan bahan pokok sehari-hari menjadi tidak terpenuhi, sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Kekurangan gizi akan membawa pengarahuh pada perkembangan dan pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. Kedua krisis moral membuat orang tidak mampu melihat dan membedakan lagi mana yang nilai baik dan mana yang buruk. Pembunuhan, kekerasan, perkelahian masal dan berbagai macam bentuk exploitasi kebencian membuat orang menjadi stress dan depress. Martabat manusia tidak lagi mempunyai arti, nyawa manusia tidak lebih berharga dari sekeping uang perak. Demi kepentingan politik, golongan dan pribadi orang tidak segan-segan saling membunuh. Yang jujur hancur dan yang tidak jujur malah mujur. Seolah-olah tidak ada nilai kebenaran umum yang bisa menjadi pijakan untuk bertindak. Orang menjadi limbung dan tidak tahu bagaimana harus berlindung. Agama pun juga mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa.
Agama tidak lagi menjadi jaminan bahwa orang akan hidup lebih baik. Konflik antar agama di salah satu pulau dibagian timur negeri ini telah menelan ribuan orang menjadi korbannya. Banyak orang mulai bertanya mengenai keadilan Allah. Mereka meragukan kebenaran iman bahwa Allah adalah Kasih, bahwa Allah masih berkenan mendengarkan doa mereka. Kalau Allah adalah kasih dan mendengarkan jeritan mereka, mengapa Allah membiarkan ribuan orang mati konyol karena fanatisme agama yang buta. Demi nama agama orang merasa bahwa membunuh adalah perbuatan yang dibernarkan dan ijinkan oleh Allah. Para pemimpin agama gagal dalam mengajar dan membina para pemeluknya. Sekolah yang semestinya menjadi tempat untuk membina ilmu, mendidik orang menjadi lebih manusiawi tidak lagi menjawab keprihatinan dan krisi yang berlanjut. Bahkan fungsi sekolah telah berubah menjadi tempat anak-anak muda melampiaskan segala kejengkelan dan kemarahannya. Tawuran antar pelajar menjadi tanda nyata bahwa instansi pendidikan juga sedang sakit. Mereka tidak lagi mempu memberikan ajaran yang diharapkan mampu merubah perilaku manusia menjadi lebih beradab. Mereka ditantang dan mungkin gagal dalam mendidik anak didiknya.
Akankah kita menyerah dan berdiam diri dalam situasi seperti ini. Sungguhkah tidak ada jalan keluar untuk mengatasi masalah ini? Akankah kita terpekur menyesali apa yang terlah terjadi, kebodohan kita yang telah diperalat oleh penguasa. Atau akankah kita mimpi untuk kembali pada masa lalu dan hanya duduk terpekur.
Sebagai orang yang mempunyai keyakinan akan adanya Allah, krisis total ini harus menjadi tanda untuk kembali pada citra, jati diri kita sebagai ciptaan Allah. Dan sebagai keluarga, sel terkecil dari masyarakat kita boleh juga mengoreksi diri dan mengevaluasi diri. Marilah kita bangkit dan memperbaharui diri. Bila kita merasa bahwa kita gagal dalam mendidik anak-anak kita, marilah kita kembali kepada Allah dan belajar dari Kitab Suci bagaimana mereka mendidik anak-anaknya.

Belajar dari Kitab Suci
Ketika Jesus tampil berkarya didepan umum orang-orang Yahudi bertanya akan keahlian dan kebijaksanaan. “Dari mana orang ini mendapatkan semuanya, bila Ia tidak pernah belajar” (Joh 7:15). Lukas secara singkat sekali memberikan gambaran kepada kita bahwa “ Ia pulang ke Nazareth bersama mereka …dan Ia tumbuh berkembang dalam kebijaksanaan dan semakin dicintai oleh Tuhan dan sesamanya” (Luk 2:51). Tidak ada informasi yang jelas bahwa Jesus belajar lewat institusi resmi dalam pendidikan khusus seperti halnya para murid yang ingin menjadi Rabbi atau guru Israel, seperti halnya St. Paulus. Para ahli berpendapat bahwa Jesus mendapat pendidikan dari lingkungan rumah dan dari sinagoga. Dikatakan pula bahwa Jesus juga tidak pernah mendapat latihan khusus dari para guru Israel, namun demikian tidak berarti bahwa Dia tidak pernah sekolah. Lalu apa yang dilakukan oleh Jesus di kota Nazareth sehingga Ia tumbuh menjadi orang yang penuh dengan kebijaksanaan dan kasih.
Untuk memahami ini, pertama-tama kita perlu melihat kebiasaan yang terjadi dalam pola pendidikan tradisi orang Yahudi. Namun secara singkat bisa dikatakan bahwa keluarga Nazareth yang hidup begitu setia terhadap ajaran warisan Yahudi dan Hukum mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan masa kecil Jesus.
Ciri khas pendidikan Yahudi terarah pada kepenuhan perkembangan kedewasaan pribadi, baik dari segi kepribadian maupun pengalamannya. Hal ini nampak dalam kesetiaan mereka memegang teguh hukum dan iman para leluhur mereka. Dan secara singkat kesetiaan menjalankan kehendak Tuhan terungkap dalam hukum kasih. Mereka dan menjalankannya dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Harmonisasi antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama merupakan kepenuhan dari perintah Allah, dalam tingkat inilah manusia dikatakan bijaksana.
Tujuan pokok pendidikan adalah membawa para murid atau anak-anak mempunyai hubungan yang akrab dengan Yahwe. Mereka semakin mengenal Yahwe sebagai Allahnya dan mereka sebagai umatNya. Hal ini menjadi penting karena bagi orang Yahudi Yahwe bukan hanya sebagai Allah, tetapi Ia sumber segala kebijakasanaan dan kebenaran yang juga Guru dan pendidik bangsa Israel (bdk Ayub 36:22). Yahwe dialami Pendidik dan Guru lewat sabda dan karyaNya. Hal ini menjadi konkrit terutama lewat para nabi, orang-orang bijak (bdk Yes 8:16, Prov 13:14). Selain itu peranan orang tua juga menjadi penting lewat orang tua, juga lewat pengalaman hidup, terutama pengalaman padang gurun, ketika mereka berada dipembuangan, ketika mereka berkeras hati dan menolak mendengarkan sabdaNya (Jer 32:33)
Pusat pendidikan bagi orang Yahudi adalah rumah mereka. Apa yang pertama dan utama diperoleh oleh anak-anak dalam pendidikan rumah mereka? Pendidikan pertama dan utama yang didapat anak dari rumah mereka adalah pendidikan agama dan moral atau budi pekerti. Anak-anak Israel menghabiskan seluruh waktunya di rumah dengan bermain-main, membuat kerajinan dari tanah liat, menyanyi dan manari-nari dengan teman sebaya mereka. Orang tua mempunyai peranan yang paling utama dalam masa seperti ini. Setelah anak berkembang dewasa, tanggung-jawab pendidikan terhadap anak-anak laki-laki ditangani oleh ayah, sedangkan tanggung-jawab anak perempuan diserahkan sepenuhkan kepada ibunya.
Menurut seorang ahli sejarah Israel (Josephus) anak-anak Isreal hafal Kitab Suci dan hukum. Setiap orang tua Israel mempunyai prinsip yang ketat dan kuat dalam memberikan pendidikan moral dan keagamaan kepada anak-anak mereka. “Jika kita tidak mengajarkan agama kepada anak-anak sejak muda, sungguh kita tidak akan mampu memberikan pendidikan yang sama kepada mereka dikemudian hari” (bdk 2Tim3:15) Sebelum anak-anak masuk ke sekolah, rumah adalah satu-satunya sekolahan dan orang tua adalah satu-satunya guru. Di saat dan di sinilah orang tua mempunyai andil dan peran yang sangat besar untuk menanamkan dasar kehidupan rohani, keagamaan dan moral yang kuat kepada anak-anak mereka.
Pendidikan di rumah ini menyangkut segala situasi dan tempat. Segala kesempatan digunakan sebagai sarana untuk mendidik anak-anak mereka. Ketika mereka duduk santai, ketika mereka sedang makan bersama, ketika mereka berjalan, semua adalah waktu bagi mereka untuk belajar. (bdk Ulangan 6:4-9)
Pada umunya tekanan pokok pendidikan anak-anak di rumah adalah hidup keagamaan, pembentukan kepribadian dan sopan santun. Kesucian hidup, kebijaksanaan, baik menyangkut kepribadian dan iman adalah tujuan dari pendidikan.

Pendidikan Jesus
Sebagai seorang Yahudi, kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Jesus pun mengalami situasi dan pengaruh sistim seperti diuraikan diatas. Jesus memperoleh pendidikan dasar yang sangat kuat dari orang tuanya. Selain itu Dia pun juga mendapat pendidikan dari sinagoga. Adalah kebiasaan yang dialami oleh anak-anak Isreal di sinagoga, mereka duduk ditanah mengeliling guru mereka yang sedang mengajar. Tugas utama murid adalah mengulang kembali dan menghafal segala kalimat yang dikatakan oleh guru dengan suara keras dan jelas. Mengulang, menghafal, meniru dan menyuarakan dengan keras itulah yang dilakukan oleh Jesus. Dari Injil Lukas kita bisa mendapat bukti bahwa Jesus begitu biasa dengan segala ini. Dia juga hafal Kitab Suci dan menguasai isinya. (bdk Lk 4:16:22)
Selain pendidikan yang diperoleh di rumah dan di sinagoga, sumber pendidikan yang membuat Jesus menjadi manusia yang peka dan bijak adalah melalui buku alam, buka kehidupan dan buku umat Allah.
Lewat alam Jesus belajar dan mencari kehendak Allah. Bagi Jesus alam adalah guru yang mengajar untuk semakin mencintai sang Pencipta. Kepekaan Jesus terhadap alam inilah yang membuat dia mampu menghubungkan segala sendi-sendi kehidupan dengan misteri Allah yang berbicara lewat ciptaan. Lewat alam inilah Jesus membawa orang untuk mengagumi dan memuji keagungan Allah. Ia membawa orang tunduk pada keagungan ilahi. Ia melihat bunga bakung di ladang, burung di udara, benih yang tumbuh, biji sesawi sebagai tanda kehadiran Kerjaan Allah.
Dari Injil kita mendapat informasi mengenai kemampuan Jesus mengetahui apa yang ada tersirat dalam pikiran dan hati orang. Jesus tahu apa yang ada di dalam hati orang sebelum mereka mengeluarkan isi hatinya lewat kata. (bdk Luk 7:36) Jesus mengatahui apa yang baik dan buruk bercampur aduk dalam pikiran manusia. Kemampuan ini diperoleh oleh Jesus dengan mempelajari buku kehidupan. Jesus mampu melihat sesamanya dengan mata Allah sendiri. Dasar kehidupan relegius yang kuat, yang melihat manusia sebagai ‘citra Allah’ memampukan Jesus melihat Allah yang hadir dalam setiap hati manusia. Kedekatan relasinya dengan Allah lewat doa, mendaraskan mazmur dan meditasi pagi hari membuat dia menjadi begitu peka akan kebutuhan dan kesulitan setiap manusia. Semua ini mempengaruhi karyaNya, tujuan utama adalah membebaskan manusia dari belengku keakuan diri dan dosa. Dia ingin membebaskan manusia dari semua belenggu dosa dan egoisme diri.

‘KELUARGA KUDUS TELADAN KELUARGA KITA’

Kalau tidak salah beberapa waktu yang lalu ada suatu tayangan yang mengingkan suatu masalah baru didiskusikan, antara lain mengenai masalah kehidupan keluarga. Tertarik pada masalah-masalah keluarga, kedamaian, kebahagiaan dan problem yang terjadi didalamnya, saya akan menyampaikan di sini suatu artikle berhubungan dengan keluarga Kudus dari Nazareth.
Seringkali kita mendengar suatu ungkapan atau pernyataan 'keluarga kudus teladan keluarga kita'. Namun secara jujur, pernyataan atau ungkapan itu seringkali tidaklah mempunyai arti atau makna sama sekali bagi kita. Karena isi 'teladan' dari keluarga kudus itu tidaklah kita ketahui dan pahami. Bagaimana kita akan bisa meneladani, sementara teladan yang keluarga Nazareth lakukan tidak kita mengerti yang mana.
Pertama-tama harus kita mengerti lebih tepat dan jelas, yang dimaksud dengan keluarga kudus adalah Joseph, Maria dan Jesus, yang hidup di sebelah selatan kota kecil Nazareth. Menurut tradisi yang kita ketahui keluarga ini adalah keluarga yang sederhana, menghuni rumah kecil tanpa cat dan nomer rumah. Di dalamnya tinggal Joseph yang dikenal dengan tukang kayu, dan Maria istrinya dan anak satu-satunya yaitu Jesus. Mereka ini miskin, sederhana, tak perpangkat dan berprestasi dalam masyarakat, tak banyak dikenal orang, namun keluarga ini disebut kudus dan berbahagia di dunia, mengapa?
Kalau kita membalik-balik Kitab Suci, terutama dalam injil Lukas dan Matius, kesan utama yang bisa kita simpulkan dari situasi keluarga ini adalah keprihatinan dan kepahitan hidup. Tidak nampak sedikitpun bahwa keluarga ini bahagia, mereka harus berjuang melawan jaman untuk bisa survive. Kita telusuri apa yang terjadi dalam keluarga ini, menurut apa yang ditulis dalam Injil:
- kisah Maria dan Joseph ikut sensus ke Jerusalem, dengan susah payah dan penuh kecemasan mencari penghinapan dan tiada tempat bagi mereka.
- Jesus, si anak satu-satunya keluarga ini, tidak lahir ditempat yang layak, bukan dirumah sakit yang mahal harganya, tetapi ditempat hina di gua kandang hewan di luar kota Bethlehem, ditempat yang serba papa dan ditengah orang-orang yang tak terhitung dalam sosial masyarakat, yaitu gembala.
- keluarga ini tidak bisa hidup tenang menimang bayi kecil yang baru lahir, namun demi keselamatan si bayi, mereka harus mengungsi ke Mesir. Ancaman untuk membinasakan dan membunuh si bayi membuat keluarga ini lari dan menyelamatkan diri.
- kemudian dikisahkan secara tidak jelas, bagaiamana keluarga ini hidup di kota kecil Nazareth sepulang dari pengungsian mereka, di sinilah Jesus dibesarkan dibawah asuhan bapa dan ibunya.
- Lukas menambah cerita lain, mengenai Jesus yang dipersembahkan dibait Allah dan ditambah masa kanak-kanak Jesus, yang hilang dibait Allah, yang membuat susah dan kuatir bapak dan ibunya dan mencariNya selama tiga hari berjalan kaki.
Dari kisah injil, nampak dan berkesan kuat sekali tentang potret pahit getir keluarga ini. Lalu mengapa gereja masih tetap yakin bahwa keluarga yang seperti ini adalah keluarga bahagia yang patut menjadi teladan keluarga Kristen, di mana letak kebahagiaannya?
Paus Leo XIII, menyatakan bahwa kebahagiaan keluarga Nazareth ini tidak terletak pada hidup yang serba kecukupan, kelimpahan rejeki, sandang, pangan, papan pangkat dan derajat yang tinggi, tetapi kekudusan dan kebahagiaan keluarga Nazaret terletak pada tiga hal ini:
1. Persatuan dan kehadiran Jesus dalam keluarga. Ke mana dan di mana saja keluarga ini berada, Jesus selalu ditengah-tengah mereka. Kehadiran Sang Allah Putera yang menjadi pemersatu, pengikat keluarga inilah sumber kebahagiaannya. Kita bisa bandingkan juga kisah mengenai Zakeus, harta benda berlimpah yang ia meliki tidak pernah memberi kebahagiaan sejati. Semua itu menjadi tidak berarti baginya sama sekali ketika Jesus mengatakan "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" Lalu Zakheus segera turun dan menerima Jesus dengan SUKACITA" (Luk 19:6-7).
2. Cinta kasih adalah dasar yang menyatu-padukan keluarga Nazareth, sehingga mereka hidup rukun, tentram dan damai. Lukas 2:52, menuliskan kesan ini "Dan Jesus semakin bertambah hikmatNya dan besarNya dan makin dikasihi Allah dan manusia"
3. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah "pengorbanan". Dalam pengorbana, baik dari palungan sampai ke salib, Maria dan Joseph merasa bahagia, karena merasa bisa berbuat dan berkorban bagi Putranya. Bayangkan dan bandingkan dengan orang tua yang mau bersusah-payah bekerja membanting tulang, semua itu dilakukan dengan penuh pengorbanan, bahkan ada yang tidak sampai bisa memikirkan kesenangannya sendiri, tetapi akan sangat bahagia bila melihat anaknya yang 'dilabuhi' itu berhasil, korbannya membawa keberhasilan. Ya..kan yangti...kebahagian orang tua itu kalau anaknya berhasilkan, dan semua pengorbanan yang telah dilakukan tidak akan sia-sia, malah sebaliknya membawa kebahagian, ada buah dan hasilnya.
Inilah teladan yang bisa kita renungkan bila kita menjadikan keluarga Nazareth ini adalah figur teladan keluarga kita. Kehadiran Jesus, kasih dan pengorbanan menjadi tiga serangkai yang menentukan kekudusan dan kebahagiaan keluarga kita. Sayang sekali bahwa dewasa ini banyak sekali keluarga-keluarga kristiani jauh dari gambaran keluarga ini. Mereka sedang mengalami krisis cinta kasih, pengorbanan dan kesetiaan. Penting untuk sungguh kita sadari, kunci kebahagian bagi keluarga kristiani sangat ditentukan oleh taraf dan intensitas kehadiraan Jesus ditengah keluarga kita. Jiwa cinta kasihNya yang tulus, jiwa pengorbanan yang tak ada batasnya, jiwa kesetiaan sebenarnya harus juga menjadi jiwa bapak, ibu dan anak, bila keluarga itu sungguh ingin mengalami damai, tentram dan bahagia. Semoga tiga pokok penting teladan dari keluarga Nazareth ini menjadi pokok suasan dari keluarga kita.
Selain tiga hal yang telah saya sebutkan dalam tayangan yang lalu, mengapa keluarga kudus Nazareth menjadi teladan keluarga kristiani. Dalam artikel berikut ini saya masih memberi perhatian pada teladan yang bisa kita contoh dari keluarga sederhana dari Nazareth ini. Kalau keluarga kita mengambil keluarga kudus ini sebagai teladan, bukan berarti bahwa kita mengambil arti harifiah atau meniru lahiriah apa yang telah dilakukan oleh keluarga ini, misalnya pekerjaan St. Joseph sebagai tukang kayu, Maria sebagai teladan karena berasal dari desa, atau Jesus yang berambut gondrong atau berjenggot. Namun keteladan keluarga kudus ini terletak di dalam inti kehidupan mereka, yaitu pada taraf hidup rohaninya, yaitu selalu terbuka dalam mencari serta mempertimbangkan hidup mereka, agar selalu hanya terarah pada kehendak Allah. Dalam diri tiga pribadi keluarga Nazareth ini kita menemukan suatu sikap dan pribadi yang tanggap dan selalu peka terhadap tanda-tanda jaman, dan senantiasa siap dan terbuka terhadap apa yang Tuhan kehendaki atas diri mereka dan umatNya.
Kita coba memusatkan perhatian pada masing-masing pribadi dari keluarga kudus ini, apakah pernyataan di atas ini sungguh terbukti dalam diri mereka.
1. Bunda Maria menampilkan keteladan itu pada waktu menerima kabar gembira: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk 1:38). Ketika waktu Jesus lahir dan peristiwa hilangnya Jesus di bait Allah dan akhirnya diketemukan kembali, Bunda Maria menerima semuanya itu dan merenungkannya. "Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya" (Luk 2:19.51). Suatu kehendak Allah yang tidak mudah diterima begitu saja, sebagaimana telah diramalkan oleh Simeon ketika Jesus dipersembahkan, bahwa hati Maria akan ditusuk oleh pedang, ialah ketika Puteranya itu tergantung di palang penghinaan, ketika Jesus menderita sengsara dan akhirnya wafat sebagai seorang penjahat. Betapa berat dan tidak mudah Maria menerima semua itu sebagai kehendak Allah, namun ia tetap berjalan setia pada jalan salib puteranya itu.
2. Teladan St. Joseph dapat kita lihat dalam usahanya untuk memahami apa yang dikehendaki Allah terhadap dirinya sendiri serta istri dan anaknya. Kisah ini sulit sekali untuk dicari contohnya dalam kehidupan modern, bahkan diantara orang kristiani pun tidak mungkin bisa menerima kejadian ini. Ketika ia sudah bertunangan dengan Maria dan mengetahui bahwa Maria mengandung tanpa dia mengetahui dari mana asalahnya, dengan hati tulus iklas dan tidak ingin mengecewakan dan mencemarkan wanita yang dicintainya itu "ia bermaksud meninggalkannya secara diam-diam" (Mat 1:19). Kisah lain yang menunjukkan keluhuran budi dan kesetiaannya pada kehendak Allah adalah peristiwa ketika raja Herodes mencari dan bermaksud untuk membunuh bayi Jesus, lewat mimpi, suatu hal yang tidak mudah untuk diakui dan diikuti kebenarannya, namun toh ia mengikuti petunjuk Allah itu untuk mengamankan dan membawa Jesus dan Maria mengungsi di tempat yang aman, yang telah disediakan oleh Allah. Dan bagaimana pun kehendak Allah bagi Joseph bukanlah sesuatu yang sudah dan serba jelas, walaupun dia dengan setia mencoba mencari, menerima dan menghayatinya, namun suatu saat ia sungguh hanya bisa dia dan bungkam. Hal ini terlihat jelas sekali ketika Joseph menemukan Jesus yang hilang pada umur dua belas tahun di Bait Allah Jerusalem. Ia yang telah mencarinya selama tiga hari, namun jawaban Jesus terhadap mereka sungguh sulit untuk dimengerti dan diterima artinya, dengan kata lain ia tidak mengerti dan memahami kehendak Allah.
3. Sulit bagi saya untuk meringkas teladan apa yang bisa kita ambil dari hidup Jesus, karena bagi kita yang disebut kristen, Jesus adalah segala-galanya. Karena menjadi kristen berarti terus-menerus berproses untuk menjadi serupa dengan Jesus. Dalam kaitannya dengan teladan iman dari pribadi ketiga dalam keluarga Nazareth yang sebagai manusia mendapat gelar sebagai anak dari keluarga Nazareth, kita bisa mengambil beberapa contoh yang berkaitan erat dengan segi kemanusiaan Jesus. Pada awal penampilannya di depan umum, sebagai 'bujang' yang mempunyai idealitas untuk bisa mewujudkan impiannya, mempunyai masa depan yang lebih baik, setelah diawali dengan berpuasa selama empat puluh hari, datanglah kepadaNya suatu godaan yang dua pilihan yang tidak bisa didamaikan. Mengikuti kehendak Allah atau mengikuti keinginan dunia yang memanisfestasi dalam bujukan setan. Dari Injil kita tahu bahwa kehendak Allah menjadi pilihan Tuhan kita ini. Ketika Petrus iri, karena murid-murid Johanes mempunyai cara berdoa yang khas dari gurunya, maka ia meminta kepada Jesus untuk diajari berdoa. Jesus mengajarkan "jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga". Contoh terakhir yang oleh penginjil ditampilkan untuk menunjukkan betapa dalam memahami kehendak BapaNya itu tidak mudah, Jesus sungguh berjuangan diantara dua pilihan yang tidak mudah untuk diputuskan. Mengikuti kehendak Bapa, dan itu berarti meminum piala yang harus diminumnya,dan ini berarti menderita sengsara atau mengikuti kehendakNya sendiri, tidak meminum cawan dan melarikan diri dari BapaNya. Maka karena pergulatan batin yang begitu berat, sampai-sampai penginjil Lukas menggambarkan Dia sampai mengeluarkan keringat darah. Dan teladan yang sungguh selalu mengesan bila kita renungkan dan memberikan kekuatan dan penghiburan dikala kita sedang krisis iman adalah kata akhir menjelang wafatNya, Jesus menunjukkan betapa seluruh hidupNya hanyalah menuruti dan menjawab kehendak BapaNya, maka diatas palang penghinaan Ia berseru: "Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu" (Luk 23:46)
Dari teladan iman keluarga Nazareth ini, kita sebagai keluarga kristen (katolik) mempunyai dan memperoleh suatu teladan yang jelas, yaitu bagaimana cara kita mendengarkan kehendak Allah. Dan nampak sekali bahwa iman yang tulus dan dalam itu terungkap dalam kepasrahan dan mempersembahkan hidup bagi Allah. Bila kita memperhatikan keluarga-keluarga kita, betapa banyak keluarga kita sekarang ini mendasarkan hidupnya bukan pada kehendak Allah, tetapi lebih pada keberhasilan ekonomi dan tingginya derajat dan pangkat yang diperoleh. Dan saya kira sedikit sekali keluarga kita yang sungguh mengandalkan iman dalam menelusuri hidup ini. Banyak diantara kita yang memisahkan antara iman dan perbuatan, antara doa dan kerja, sehingga seolah-olah dua bidang ini berbeda satu sama lain. Sebenarnya tidaklah demikian. Dulu ada suatu kebiasaan yang indah, yaitu bapak atau ibu selalu membuat tanda salib kepada anak-anaknya bila mereka mau meninggalkan rumah atau mau tidur. Seaindanya sekarang ini masih ada yang melanjutkan tradisi ini, mungkin diantara anggota parokinet ini bisa dihitung dengan jari yang masih melakukannya. Dalam buku Madah Bakti atau Puji Syukur ada doa yang bagus sekali, penyerahan keluarga, baik kepada Bunda Maria atau kepada Hati Kudus Jesus, namun siapa yang masih biasa mempunyai waktu mendoakan bersama-sama dengan anak-anaknya? Akhirnya kita harus menyadari bahwa keluarga adalah gereja mini, suatu sel yang menetukan baik dan jeleknya suatu negara dan gereja, semoga keluarga-keluarga yang masih mempunyai anak-anak kecil, mulai membiasakan diri untuk berkumpul dan berdoa, karena kebiasaan ini sungguh akan membekas kuat dalam diri anak-anaknya dan sangat mempengaruhi kepribadiannya. Saya sendiri mengalami ini, sebagaimana telah saya sharingkan, betapa doa simbok saya dan kebiasaan kami berdoa mempengaruhi kepribadian, bahkan sangat menentukan masa depan saya. Sekian.