Friday, February 24, 2006

‘KELUARGA KUDUS TELADAN KELUARGA KITA’

Kalau tidak salah beberapa waktu yang lalu ada suatu tayangan yang mengingkan suatu masalah baru didiskusikan, antara lain mengenai masalah kehidupan keluarga. Tertarik pada masalah-masalah keluarga, kedamaian, kebahagiaan dan problem yang terjadi didalamnya, saya akan menyampaikan di sini suatu artikle berhubungan dengan keluarga Kudus dari Nazareth.
Seringkali kita mendengar suatu ungkapan atau pernyataan 'keluarga kudus teladan keluarga kita'. Namun secara jujur, pernyataan atau ungkapan itu seringkali tidaklah mempunyai arti atau makna sama sekali bagi kita. Karena isi 'teladan' dari keluarga kudus itu tidaklah kita ketahui dan pahami. Bagaimana kita akan bisa meneladani, sementara teladan yang keluarga Nazareth lakukan tidak kita mengerti yang mana.
Pertama-tama harus kita mengerti lebih tepat dan jelas, yang dimaksud dengan keluarga kudus adalah Joseph, Maria dan Jesus, yang hidup di sebelah selatan kota kecil Nazareth. Menurut tradisi yang kita ketahui keluarga ini adalah keluarga yang sederhana, menghuni rumah kecil tanpa cat dan nomer rumah. Di dalamnya tinggal Joseph yang dikenal dengan tukang kayu, dan Maria istrinya dan anak satu-satunya yaitu Jesus. Mereka ini miskin, sederhana, tak perpangkat dan berprestasi dalam masyarakat, tak banyak dikenal orang, namun keluarga ini disebut kudus dan berbahagia di dunia, mengapa?
Kalau kita membalik-balik Kitab Suci, terutama dalam injil Lukas dan Matius, kesan utama yang bisa kita simpulkan dari situasi keluarga ini adalah keprihatinan dan kepahitan hidup. Tidak nampak sedikitpun bahwa keluarga ini bahagia, mereka harus berjuang melawan jaman untuk bisa survive. Kita telusuri apa yang terjadi dalam keluarga ini, menurut apa yang ditulis dalam Injil:
- kisah Maria dan Joseph ikut sensus ke Jerusalem, dengan susah payah dan penuh kecemasan mencari penghinapan dan tiada tempat bagi mereka.
- Jesus, si anak satu-satunya keluarga ini, tidak lahir ditempat yang layak, bukan dirumah sakit yang mahal harganya, tetapi ditempat hina di gua kandang hewan di luar kota Bethlehem, ditempat yang serba papa dan ditengah orang-orang yang tak terhitung dalam sosial masyarakat, yaitu gembala.
- keluarga ini tidak bisa hidup tenang menimang bayi kecil yang baru lahir, namun demi keselamatan si bayi, mereka harus mengungsi ke Mesir. Ancaman untuk membinasakan dan membunuh si bayi membuat keluarga ini lari dan menyelamatkan diri.
- kemudian dikisahkan secara tidak jelas, bagaiamana keluarga ini hidup di kota kecil Nazareth sepulang dari pengungsian mereka, di sinilah Jesus dibesarkan dibawah asuhan bapa dan ibunya.
- Lukas menambah cerita lain, mengenai Jesus yang dipersembahkan dibait Allah dan ditambah masa kanak-kanak Jesus, yang hilang dibait Allah, yang membuat susah dan kuatir bapak dan ibunya dan mencariNya selama tiga hari berjalan kaki.
Dari kisah injil, nampak dan berkesan kuat sekali tentang potret pahit getir keluarga ini. Lalu mengapa gereja masih tetap yakin bahwa keluarga yang seperti ini adalah keluarga bahagia yang patut menjadi teladan keluarga Kristen, di mana letak kebahagiaannya?
Paus Leo XIII, menyatakan bahwa kebahagiaan keluarga Nazareth ini tidak terletak pada hidup yang serba kecukupan, kelimpahan rejeki, sandang, pangan, papan pangkat dan derajat yang tinggi, tetapi kekudusan dan kebahagiaan keluarga Nazaret terletak pada tiga hal ini:
1. Persatuan dan kehadiran Jesus dalam keluarga. Ke mana dan di mana saja keluarga ini berada, Jesus selalu ditengah-tengah mereka. Kehadiran Sang Allah Putera yang menjadi pemersatu, pengikat keluarga inilah sumber kebahagiaannya. Kita bisa bandingkan juga kisah mengenai Zakeus, harta benda berlimpah yang ia meliki tidak pernah memberi kebahagiaan sejati. Semua itu menjadi tidak berarti baginya sama sekali ketika Jesus mengatakan "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" Lalu Zakheus segera turun dan menerima Jesus dengan SUKACITA" (Luk 19:6-7).
2. Cinta kasih adalah dasar yang menyatu-padukan keluarga Nazareth, sehingga mereka hidup rukun, tentram dan damai. Lukas 2:52, menuliskan kesan ini "Dan Jesus semakin bertambah hikmatNya dan besarNya dan makin dikasihi Allah dan manusia"
3. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah "pengorbanan". Dalam pengorbana, baik dari palungan sampai ke salib, Maria dan Joseph merasa bahagia, karena merasa bisa berbuat dan berkorban bagi Putranya. Bayangkan dan bandingkan dengan orang tua yang mau bersusah-payah bekerja membanting tulang, semua itu dilakukan dengan penuh pengorbanan, bahkan ada yang tidak sampai bisa memikirkan kesenangannya sendiri, tetapi akan sangat bahagia bila melihat anaknya yang 'dilabuhi' itu berhasil, korbannya membawa keberhasilan. Ya..kan yangti...kebahagian orang tua itu kalau anaknya berhasilkan, dan semua pengorbanan yang telah dilakukan tidak akan sia-sia, malah sebaliknya membawa kebahagian, ada buah dan hasilnya.
Inilah teladan yang bisa kita renungkan bila kita menjadikan keluarga Nazareth ini adalah figur teladan keluarga kita. Kehadiran Jesus, kasih dan pengorbanan menjadi tiga serangkai yang menentukan kekudusan dan kebahagiaan keluarga kita. Sayang sekali bahwa dewasa ini banyak sekali keluarga-keluarga kristiani jauh dari gambaran keluarga ini. Mereka sedang mengalami krisis cinta kasih, pengorbanan dan kesetiaan. Penting untuk sungguh kita sadari, kunci kebahagian bagi keluarga kristiani sangat ditentukan oleh taraf dan intensitas kehadiraan Jesus ditengah keluarga kita. Jiwa cinta kasihNya yang tulus, jiwa pengorbanan yang tak ada batasnya, jiwa kesetiaan sebenarnya harus juga menjadi jiwa bapak, ibu dan anak, bila keluarga itu sungguh ingin mengalami damai, tentram dan bahagia. Semoga tiga pokok penting teladan dari keluarga Nazareth ini menjadi pokok suasan dari keluarga kita.
Selain tiga hal yang telah saya sebutkan dalam tayangan yang lalu, mengapa keluarga kudus Nazareth menjadi teladan keluarga kristiani. Dalam artikel berikut ini saya masih memberi perhatian pada teladan yang bisa kita contoh dari keluarga sederhana dari Nazareth ini. Kalau keluarga kita mengambil keluarga kudus ini sebagai teladan, bukan berarti bahwa kita mengambil arti harifiah atau meniru lahiriah apa yang telah dilakukan oleh keluarga ini, misalnya pekerjaan St. Joseph sebagai tukang kayu, Maria sebagai teladan karena berasal dari desa, atau Jesus yang berambut gondrong atau berjenggot. Namun keteladan keluarga kudus ini terletak di dalam inti kehidupan mereka, yaitu pada taraf hidup rohaninya, yaitu selalu terbuka dalam mencari serta mempertimbangkan hidup mereka, agar selalu hanya terarah pada kehendak Allah. Dalam diri tiga pribadi keluarga Nazareth ini kita menemukan suatu sikap dan pribadi yang tanggap dan selalu peka terhadap tanda-tanda jaman, dan senantiasa siap dan terbuka terhadap apa yang Tuhan kehendaki atas diri mereka dan umatNya.
Kita coba memusatkan perhatian pada masing-masing pribadi dari keluarga kudus ini, apakah pernyataan di atas ini sungguh terbukti dalam diri mereka.
1. Bunda Maria menampilkan keteladan itu pada waktu menerima kabar gembira: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk 1:38). Ketika waktu Jesus lahir dan peristiwa hilangnya Jesus di bait Allah dan akhirnya diketemukan kembali, Bunda Maria menerima semuanya itu dan merenungkannya. "Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya" (Luk 2:19.51). Suatu kehendak Allah yang tidak mudah diterima begitu saja, sebagaimana telah diramalkan oleh Simeon ketika Jesus dipersembahkan, bahwa hati Maria akan ditusuk oleh pedang, ialah ketika Puteranya itu tergantung di palang penghinaan, ketika Jesus menderita sengsara dan akhirnya wafat sebagai seorang penjahat. Betapa berat dan tidak mudah Maria menerima semua itu sebagai kehendak Allah, namun ia tetap berjalan setia pada jalan salib puteranya itu.
2. Teladan St. Joseph dapat kita lihat dalam usahanya untuk memahami apa yang dikehendaki Allah terhadap dirinya sendiri serta istri dan anaknya. Kisah ini sulit sekali untuk dicari contohnya dalam kehidupan modern, bahkan diantara orang kristiani pun tidak mungkin bisa menerima kejadian ini. Ketika ia sudah bertunangan dengan Maria dan mengetahui bahwa Maria mengandung tanpa dia mengetahui dari mana asalahnya, dengan hati tulus iklas dan tidak ingin mengecewakan dan mencemarkan wanita yang dicintainya itu "ia bermaksud meninggalkannya secara diam-diam" (Mat 1:19). Kisah lain yang menunjukkan keluhuran budi dan kesetiaannya pada kehendak Allah adalah peristiwa ketika raja Herodes mencari dan bermaksud untuk membunuh bayi Jesus, lewat mimpi, suatu hal yang tidak mudah untuk diakui dan diikuti kebenarannya, namun toh ia mengikuti petunjuk Allah itu untuk mengamankan dan membawa Jesus dan Maria mengungsi di tempat yang aman, yang telah disediakan oleh Allah. Dan bagaimana pun kehendak Allah bagi Joseph bukanlah sesuatu yang sudah dan serba jelas, walaupun dia dengan setia mencoba mencari, menerima dan menghayatinya, namun suatu saat ia sungguh hanya bisa dia dan bungkam. Hal ini terlihat jelas sekali ketika Joseph menemukan Jesus yang hilang pada umur dua belas tahun di Bait Allah Jerusalem. Ia yang telah mencarinya selama tiga hari, namun jawaban Jesus terhadap mereka sungguh sulit untuk dimengerti dan diterima artinya, dengan kata lain ia tidak mengerti dan memahami kehendak Allah.
3. Sulit bagi saya untuk meringkas teladan apa yang bisa kita ambil dari hidup Jesus, karena bagi kita yang disebut kristen, Jesus adalah segala-galanya. Karena menjadi kristen berarti terus-menerus berproses untuk menjadi serupa dengan Jesus. Dalam kaitannya dengan teladan iman dari pribadi ketiga dalam keluarga Nazareth yang sebagai manusia mendapat gelar sebagai anak dari keluarga Nazareth, kita bisa mengambil beberapa contoh yang berkaitan erat dengan segi kemanusiaan Jesus. Pada awal penampilannya di depan umum, sebagai 'bujang' yang mempunyai idealitas untuk bisa mewujudkan impiannya, mempunyai masa depan yang lebih baik, setelah diawali dengan berpuasa selama empat puluh hari, datanglah kepadaNya suatu godaan yang dua pilihan yang tidak bisa didamaikan. Mengikuti kehendak Allah atau mengikuti keinginan dunia yang memanisfestasi dalam bujukan setan. Dari Injil kita tahu bahwa kehendak Allah menjadi pilihan Tuhan kita ini. Ketika Petrus iri, karena murid-murid Johanes mempunyai cara berdoa yang khas dari gurunya, maka ia meminta kepada Jesus untuk diajari berdoa. Jesus mengajarkan "jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga". Contoh terakhir yang oleh penginjil ditampilkan untuk menunjukkan betapa dalam memahami kehendak BapaNya itu tidak mudah, Jesus sungguh berjuangan diantara dua pilihan yang tidak mudah untuk diputuskan. Mengikuti kehendak Bapa, dan itu berarti meminum piala yang harus diminumnya,dan ini berarti menderita sengsara atau mengikuti kehendakNya sendiri, tidak meminum cawan dan melarikan diri dari BapaNya. Maka karena pergulatan batin yang begitu berat, sampai-sampai penginjil Lukas menggambarkan Dia sampai mengeluarkan keringat darah. Dan teladan yang sungguh selalu mengesan bila kita renungkan dan memberikan kekuatan dan penghiburan dikala kita sedang krisis iman adalah kata akhir menjelang wafatNya, Jesus menunjukkan betapa seluruh hidupNya hanyalah menuruti dan menjawab kehendak BapaNya, maka diatas palang penghinaan Ia berseru: "Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu" (Luk 23:46)
Dari teladan iman keluarga Nazareth ini, kita sebagai keluarga kristen (katolik) mempunyai dan memperoleh suatu teladan yang jelas, yaitu bagaimana cara kita mendengarkan kehendak Allah. Dan nampak sekali bahwa iman yang tulus dan dalam itu terungkap dalam kepasrahan dan mempersembahkan hidup bagi Allah. Bila kita memperhatikan keluarga-keluarga kita, betapa banyak keluarga kita sekarang ini mendasarkan hidupnya bukan pada kehendak Allah, tetapi lebih pada keberhasilan ekonomi dan tingginya derajat dan pangkat yang diperoleh. Dan saya kira sedikit sekali keluarga kita yang sungguh mengandalkan iman dalam menelusuri hidup ini. Banyak diantara kita yang memisahkan antara iman dan perbuatan, antara doa dan kerja, sehingga seolah-olah dua bidang ini berbeda satu sama lain. Sebenarnya tidaklah demikian. Dulu ada suatu kebiasaan yang indah, yaitu bapak atau ibu selalu membuat tanda salib kepada anak-anaknya bila mereka mau meninggalkan rumah atau mau tidur. Seaindanya sekarang ini masih ada yang melanjutkan tradisi ini, mungkin diantara anggota parokinet ini bisa dihitung dengan jari yang masih melakukannya. Dalam buku Madah Bakti atau Puji Syukur ada doa yang bagus sekali, penyerahan keluarga, baik kepada Bunda Maria atau kepada Hati Kudus Jesus, namun siapa yang masih biasa mempunyai waktu mendoakan bersama-sama dengan anak-anaknya? Akhirnya kita harus menyadari bahwa keluarga adalah gereja mini, suatu sel yang menetukan baik dan jeleknya suatu negara dan gereja, semoga keluarga-keluarga yang masih mempunyai anak-anak kecil, mulai membiasakan diri untuk berkumpul dan berdoa, karena kebiasaan ini sungguh akan membekas kuat dalam diri anak-anaknya dan sangat mempengaruhi kepribadiannya. Saya sendiri mengalami ini, sebagaimana telah saya sharingkan, betapa doa simbok saya dan kebiasaan kami berdoa mempengaruhi kepribadian, bahkan sangat menentukan masa depan saya. Sekian.

No comments: