Friday, February 24, 2006

“MENDIDIK ANAK YANG BAIK” (1)

(Belajar dari Tradisi dalam Kitab Suci)

Generasi yang ‘rusak’
Beberapa ahli berpendapat bahwa krisi total yang berkepanjangan yang dialami oleh bangsa ini akan membawa akibat rusaknya suatu generasi masa depan. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa faktor. Pertama krisis ekonomi membuat kebutuhan bahan pokok sehari-hari menjadi tidak terpenuhi, sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Kekurangan gizi akan membawa pengarahuh pada perkembangan dan pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. Kedua krisis moral membuat orang tidak mampu melihat dan membedakan lagi mana yang nilai baik dan mana yang buruk. Pembunuhan, kekerasan, perkelahian masal dan berbagai macam bentuk exploitasi kebencian membuat orang menjadi stress dan depress. Martabat manusia tidak lagi mempunyai arti, nyawa manusia tidak lebih berharga dari sekeping uang perak. Demi kepentingan politik, golongan dan pribadi orang tidak segan-segan saling membunuh. Yang jujur hancur dan yang tidak jujur malah mujur. Seolah-olah tidak ada nilai kebenaran umum yang bisa menjadi pijakan untuk bertindak. Orang menjadi limbung dan tidak tahu bagaimana harus berlindung. Agama pun juga mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa.
Agama tidak lagi menjadi jaminan bahwa orang akan hidup lebih baik. Konflik antar agama di salah satu pulau dibagian timur negeri ini telah menelan ribuan orang menjadi korbannya. Banyak orang mulai bertanya mengenai keadilan Allah. Mereka meragukan kebenaran iman bahwa Allah adalah Kasih, bahwa Allah masih berkenan mendengarkan doa mereka. Kalau Allah adalah kasih dan mendengarkan jeritan mereka, mengapa Allah membiarkan ribuan orang mati konyol karena fanatisme agama yang buta. Demi nama agama orang merasa bahwa membunuh adalah perbuatan yang dibernarkan dan ijinkan oleh Allah. Para pemimpin agama gagal dalam mengajar dan membina para pemeluknya. Sekolah yang semestinya menjadi tempat untuk membina ilmu, mendidik orang menjadi lebih manusiawi tidak lagi menjawab keprihatinan dan krisi yang berlanjut. Bahkan fungsi sekolah telah berubah menjadi tempat anak-anak muda melampiaskan segala kejengkelan dan kemarahannya. Tawuran antar pelajar menjadi tanda nyata bahwa instansi pendidikan juga sedang sakit. Mereka tidak lagi mempu memberikan ajaran yang diharapkan mampu merubah perilaku manusia menjadi lebih beradab. Mereka ditantang dan mungkin gagal dalam mendidik anak didiknya.
Akankah kita menyerah dan berdiam diri dalam situasi seperti ini. Sungguhkah tidak ada jalan keluar untuk mengatasi masalah ini? Akankah kita terpekur menyesali apa yang terlah terjadi, kebodohan kita yang telah diperalat oleh penguasa. Atau akankah kita mimpi untuk kembali pada masa lalu dan hanya duduk terpekur.
Sebagai orang yang mempunyai keyakinan akan adanya Allah, krisis total ini harus menjadi tanda untuk kembali pada citra, jati diri kita sebagai ciptaan Allah. Dan sebagai keluarga, sel terkecil dari masyarakat kita boleh juga mengoreksi diri dan mengevaluasi diri. Marilah kita bangkit dan memperbaharui diri. Bila kita merasa bahwa kita gagal dalam mendidik anak-anak kita, marilah kita kembali kepada Allah dan belajar dari Kitab Suci bagaimana mereka mendidik anak-anaknya.

Belajar dari Kitab Suci
Ketika Jesus tampil berkarya didepan umum orang-orang Yahudi bertanya akan keahlian dan kebijaksanaan. “Dari mana orang ini mendapatkan semuanya, bila Ia tidak pernah belajar” (Joh 7:15). Lukas secara singkat sekali memberikan gambaran kepada kita bahwa “ Ia pulang ke Nazareth bersama mereka …dan Ia tumbuh berkembang dalam kebijaksanaan dan semakin dicintai oleh Tuhan dan sesamanya” (Luk 2:51). Tidak ada informasi yang jelas bahwa Jesus belajar lewat institusi resmi dalam pendidikan khusus seperti halnya para murid yang ingin menjadi Rabbi atau guru Israel, seperti halnya St. Paulus. Para ahli berpendapat bahwa Jesus mendapat pendidikan dari lingkungan rumah dan dari sinagoga. Dikatakan pula bahwa Jesus juga tidak pernah mendapat latihan khusus dari para guru Israel, namun demikian tidak berarti bahwa Dia tidak pernah sekolah. Lalu apa yang dilakukan oleh Jesus di kota Nazareth sehingga Ia tumbuh menjadi orang yang penuh dengan kebijaksanaan dan kasih.
Untuk memahami ini, pertama-tama kita perlu melihat kebiasaan yang terjadi dalam pola pendidikan tradisi orang Yahudi. Namun secara singkat bisa dikatakan bahwa keluarga Nazareth yang hidup begitu setia terhadap ajaran warisan Yahudi dan Hukum mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan masa kecil Jesus.
Ciri khas pendidikan Yahudi terarah pada kepenuhan perkembangan kedewasaan pribadi, baik dari segi kepribadian maupun pengalamannya. Hal ini nampak dalam kesetiaan mereka memegang teguh hukum dan iman para leluhur mereka. Dan secara singkat kesetiaan menjalankan kehendak Tuhan terungkap dalam hukum kasih. Mereka dan menjalankannya dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Harmonisasi antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama merupakan kepenuhan dari perintah Allah, dalam tingkat inilah manusia dikatakan bijaksana.
Tujuan pokok pendidikan adalah membawa para murid atau anak-anak mempunyai hubungan yang akrab dengan Yahwe. Mereka semakin mengenal Yahwe sebagai Allahnya dan mereka sebagai umatNya. Hal ini menjadi penting karena bagi orang Yahudi Yahwe bukan hanya sebagai Allah, tetapi Ia sumber segala kebijakasanaan dan kebenaran yang juga Guru dan pendidik bangsa Israel (bdk Ayub 36:22). Yahwe dialami Pendidik dan Guru lewat sabda dan karyaNya. Hal ini menjadi konkrit terutama lewat para nabi, orang-orang bijak (bdk Yes 8:16, Prov 13:14). Selain itu peranan orang tua juga menjadi penting lewat orang tua, juga lewat pengalaman hidup, terutama pengalaman padang gurun, ketika mereka berada dipembuangan, ketika mereka berkeras hati dan menolak mendengarkan sabdaNya (Jer 32:33)
Pusat pendidikan bagi orang Yahudi adalah rumah mereka. Apa yang pertama dan utama diperoleh oleh anak-anak dalam pendidikan rumah mereka? Pendidikan pertama dan utama yang didapat anak dari rumah mereka adalah pendidikan agama dan moral atau budi pekerti. Anak-anak Israel menghabiskan seluruh waktunya di rumah dengan bermain-main, membuat kerajinan dari tanah liat, menyanyi dan manari-nari dengan teman sebaya mereka. Orang tua mempunyai peranan yang paling utama dalam masa seperti ini. Setelah anak berkembang dewasa, tanggung-jawab pendidikan terhadap anak-anak laki-laki ditangani oleh ayah, sedangkan tanggung-jawab anak perempuan diserahkan sepenuhkan kepada ibunya.
Menurut seorang ahli sejarah Israel (Josephus) anak-anak Isreal hafal Kitab Suci dan hukum. Setiap orang tua Israel mempunyai prinsip yang ketat dan kuat dalam memberikan pendidikan moral dan keagamaan kepada anak-anak mereka. “Jika kita tidak mengajarkan agama kepada anak-anak sejak muda, sungguh kita tidak akan mampu memberikan pendidikan yang sama kepada mereka dikemudian hari” (bdk 2Tim3:15) Sebelum anak-anak masuk ke sekolah, rumah adalah satu-satunya sekolahan dan orang tua adalah satu-satunya guru. Di saat dan di sinilah orang tua mempunyai andil dan peran yang sangat besar untuk menanamkan dasar kehidupan rohani, keagamaan dan moral yang kuat kepada anak-anak mereka.
Pendidikan di rumah ini menyangkut segala situasi dan tempat. Segala kesempatan digunakan sebagai sarana untuk mendidik anak-anak mereka. Ketika mereka duduk santai, ketika mereka sedang makan bersama, ketika mereka berjalan, semua adalah waktu bagi mereka untuk belajar. (bdk Ulangan 6:4-9)
Pada umunya tekanan pokok pendidikan anak-anak di rumah adalah hidup keagamaan, pembentukan kepribadian dan sopan santun. Kesucian hidup, kebijaksanaan, baik menyangkut kepribadian dan iman adalah tujuan dari pendidikan.

Pendidikan Jesus
Sebagai seorang Yahudi, kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Jesus pun mengalami situasi dan pengaruh sistim seperti diuraikan diatas. Jesus memperoleh pendidikan dasar yang sangat kuat dari orang tuanya. Selain itu Dia pun juga mendapat pendidikan dari sinagoga. Adalah kebiasaan yang dialami oleh anak-anak Isreal di sinagoga, mereka duduk ditanah mengeliling guru mereka yang sedang mengajar. Tugas utama murid adalah mengulang kembali dan menghafal segala kalimat yang dikatakan oleh guru dengan suara keras dan jelas. Mengulang, menghafal, meniru dan menyuarakan dengan keras itulah yang dilakukan oleh Jesus. Dari Injil Lukas kita bisa mendapat bukti bahwa Jesus begitu biasa dengan segala ini. Dia juga hafal Kitab Suci dan menguasai isinya. (bdk Lk 4:16:22)
Selain pendidikan yang diperoleh di rumah dan di sinagoga, sumber pendidikan yang membuat Jesus menjadi manusia yang peka dan bijak adalah melalui buku alam, buka kehidupan dan buku umat Allah.
Lewat alam Jesus belajar dan mencari kehendak Allah. Bagi Jesus alam adalah guru yang mengajar untuk semakin mencintai sang Pencipta. Kepekaan Jesus terhadap alam inilah yang membuat dia mampu menghubungkan segala sendi-sendi kehidupan dengan misteri Allah yang berbicara lewat ciptaan. Lewat alam inilah Jesus membawa orang untuk mengagumi dan memuji keagungan Allah. Ia membawa orang tunduk pada keagungan ilahi. Ia melihat bunga bakung di ladang, burung di udara, benih yang tumbuh, biji sesawi sebagai tanda kehadiran Kerjaan Allah.
Dari Injil kita mendapat informasi mengenai kemampuan Jesus mengetahui apa yang ada tersirat dalam pikiran dan hati orang. Jesus tahu apa yang ada di dalam hati orang sebelum mereka mengeluarkan isi hatinya lewat kata. (bdk Luk 7:36) Jesus mengatahui apa yang baik dan buruk bercampur aduk dalam pikiran manusia. Kemampuan ini diperoleh oleh Jesus dengan mempelajari buku kehidupan. Jesus mampu melihat sesamanya dengan mata Allah sendiri. Dasar kehidupan relegius yang kuat, yang melihat manusia sebagai ‘citra Allah’ memampukan Jesus melihat Allah yang hadir dalam setiap hati manusia. Kedekatan relasinya dengan Allah lewat doa, mendaraskan mazmur dan meditasi pagi hari membuat dia menjadi begitu peka akan kebutuhan dan kesulitan setiap manusia. Semua ini mempengaruhi karyaNya, tujuan utama adalah membebaskan manusia dari belengku keakuan diri dan dosa. Dia ingin membebaskan manusia dari semua belenggu dosa dan egoisme diri.

No comments: