Friday, February 24, 2006

"MENDIDIK ANAK YANG BAIK" (3)

Kembalikan anak-anak kepada Allah dan Gereja

Selain pendidikan yang diterima dari bapak dan ibuNya, Jesus juga belajar banyak hal dari lingkungan di mana Ia hidup, terutama sinagoga. Di sinagoga inilah Jesus mendapatkan pendidikan tentang hidup keagamaan, belajar Kitab Suci dan segala tradisi agamaNya. Dari kebiasaan ini nampak bahwa sinagoga mempunyai peranan penting dalam perkembangan hidup dan kepribadian Jesus.
Agama kita meyakini bahwa anak itu adalah karunia dari Allah. Anak diterima sebagai ‘titipan’ Allah yang dipercayakan kepada keluarga. Sebagai ‘titipan’ Allah hak orang tua adalah merawat, mendidik dan membesarkan supaya ia tumbuh menjadi anak-anak baik sesuai dengan kehendak Allah. Kesadaran bahwa anak adalah karunia, ‘titipan’ Allah akan membantu orang tua untuk ‘melibatkan Allah’ dalam pendidikan anak-anak. Pada kenyataanya harus diakui bahwa kesadaran dan usaha untuk melibatkan Allah dalam mendidikan ini banyak dilupakan oleh banyak keluarga.
Dari fenomena keluarga muda yang menunda memintakan baptisan kepada anaknya sebenarnya merupakan suatu tanda-tanda yang selayaknya mendapat perhatian. Dengan alasan yang nampaknya begitu baik, yakni ‘iman adalah tanggung jawab pribadi’, jangan memaksa iman kepada mereka. Dengan alasan ‘biarlah anak menentukan apa yang paling baik bagi hidupnya sendiri dan halangi kebebasannya’ tersirat suatu ketidaktahuan orang tua akan nilai iman yang telah diyakini. Kebahagaian orang tua adalah bila melihat anaknya bahagia dan berhasil. Orang tua rela berkorban mati-mati demi kebahagiaan anak-anaknya. Padahal bila disadari dengan sungguh-sungguh kebahagian sejati itu justru terletak pada iman akan Allah yang dialami sebagai yang mencintai dan menyelamatkan lahir dan batin, surga dan dunia. Membaptiskan anak sejak awal bukanlah membatasi kebebasan anak untuk menentukan imanya, tetapi merupakan sharing kebahagiaan kepada anak dari orang tua yang sungguh mencintai anaknya. Sharing kebahagian itu adalah membagikan keselamatan yang telah diyakini dan dialami oleh orang tuanya dalam iman yang dimiliki. Selain hal ini membaptiskan anak sejak bayi juga merupakan ungkapan tanggung-jawab kesanggupan orang tua atas janji yang diucapkan ketika mereka menikah.
Mengembalikan anak kepada Allah berarti semakin menyadari bahwa Allahlah yang memiliki anak kita. Sementara orang tua sebagai orang yang ‘dititip’ bertanggung-jawab memperkenalkan Allah kepada anak-anaknya. Gereja menjadi tempat yang paling tepat untuk membawa anak untuk mengenal dan menemukan Allah. Sebagaimana sinagoga menjadi tempat Jesus mendapatkan pendidikan iman, norma dan keagamaan, demikianlah pula halnya dengan Gereja. Dalam Gereja kita menemukan begitu banyak aktivitas yang membantu anak-anak mengenal Allah yang mencintai.
Program untuk anak-anak usia pra sekolah dan usia sekolah dalam kegiatan sekolah minggu, play group, misdinar, legio Maria dan lain-lain merupakan tawaran Gereja kepada anak-anak kita untuk mencintai Allah, Gereja dan sesamanya. Nilai-nilai moral, sopan santun, tanggung-jawab, kesetiaan merupakan nilai yang sejak dini ingin ditanamkan kepada mereka. Sayang bahwa banyak keluarga Katolik yang tidak menggunakan kesempatan ini sebagai sarana pelengkap dalam pendidikan anak-anaknya. Demikian pula dengan aktivitas mudika dengan berbagai macam bentuk kegiatan, seperti misalnya rekoleksi, seminar, retret, pendalaman iman, olah raga, latihan koor, camping dll merupakan pendidikan non formal yang tidak pernah dilirik oleh kebanyakan orang tua. Padahal dalam aktivitas itu anak-anak kita bisa belajar banyak hal yang tidak diterima dalam pendidikan formal.
Dari pengalaman pendampingan anak-anak dan orang muda, kami bisa mengatakan bahwa mereka yang terlibat dalam aktivitas Gereja ini biasanya lebih teguh imannya. Selain itu rasa solidaritas dengan sesamanya begitu kuat, menjadi lebih peka dan penolong bagi mereka yang memerlukan. Perjumpaam mereka dengan teman-temannya dalam kelompok mereka membuat hidup sosialitas mereka semakin berkembang. Bakat dan talenta mendapat tempatnya untuk semakin berkembang. Dan satu hal yang tidak kalah penting adalah bahwa kedekatan mereka dengan Tuhan dan teman seiman membuat anak-anak menjadi ‘tahan banting’ dan tidak mudah tergoda oleh pengaruh narkoba
Mengembalikan anak kepada Allah dan Gereja akhirnya harus dikatakan bahwa orang tua bertanggung-jawab membawa anak-anak mencintai Allah dan Gerejanya. Memberikan waktu dan dorongan kepada mereka untuk mengenal aktivitas yang ditawarkan sesuai dengan ‘interese’ anak kita. Dengan demikian diharapkan bahwa keseimbangan perkembangan pribadi anak menjadi lebih lengkap. Dalam arti bukan hanya berkembang dari segi intelektual tetapi juga dalam kepribadian dan iman.

Menghidupkan kembali budaya Katolik dalam keluarga
“Biar kanak-kanak itu datang kepadaKu” sabda Jesus ketika ibu-ibu membawa anak-anaknya namun dilarang oleh para muridNya. Lalu Jesus memberkati mereka. Berkat dalam tradisi Kitab Suci merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Berkat menjadi tanda bahwa hidup manusia ditentukan pula oleh campur tangan Allah. Berkat menjadi tanda bahwa Allah merestui dan menyertai orang itu. Yakub dan Esau saling berebut berkat dari Isak ayahnya. Mereka meyakini barang siapa pun diantara mereka yang mendapatkan berkat dari ayahnya akan mewarisi seluruh kekayaan dan menerima restu dan berkat Allah sendiri.
Dahulu ada kebiasaan yang baik yang selalu dilakukan oleh keluarga katolik, namun rasanya sekarang ini sudah jarang dilakukan lagi. Kebiasaan itu adalah memberi berkat kepada anak-anaknya sebelum tidur, ketika bangun dari tidur dan ketika anak meninggalkan rumah dengan memberi tanda salib pada dahi anak-anaknya. Kebiasaan ini menjadi ungkapan iman dan kepasrahan mereka kepada Tuhan. Menyerahkan anak-anaknya dalam tangan Tuhan membuat hidup mereka menjadi terarah dan terjamin. Mereka juga menyadari bahwa melibatkan Tuhan dalam hidup anak-anaknya adalah perlu dan penting karena anak adalah milik Allah.
Kebiasaan baik ini hilang dalam kehidupan keluarga kita. Kesadaran orang tua terhadap peranan Allah menjadi menipis. Mereka merasa bahwa mereka mampu memberikan pendidikan anak berdasarkan pada ilmu yang mereka miliki. Menyadari pentingnya Tuhan dalam pendidikan anak, belajar pula dari kebiasaan Kitab Suci kiranya tidak salah bila kita kembali kepada budaya kristen yang baik ini.
Ketika Jesus masih bayi, Jesus dipersembahkan di bait Allah. Persembahan ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban hukum Taurat. Setiap keluarga baru yang mempunyai anak pertama, wajib mempersembahkan anaknya itu kepada Allah. Orang Isreal meyakini bahwa semua anak sulung, baik binatang maupun manusia itu adalah hak Allah. Mereka harus dipersembahkan dan disucikan serta ditebus. Demikian pula yang dilakukan oleh keluarga Nasareth. Mereka mempersembahkan Jesus dan membawa tebusan berupa burung terkukur.
Dalam buku-buku doa Katolik, ada ‘doa persembahan keluarga kepada…’ Namun demikian banyak kelaurga Katolik yang tidak tahu itu. Mempersembahkan keluarga kepada Allah mengungkapkan keyakinan kita bahwa keselamatan kita itu ada di dalam Allah. Perlindungan dan kehadirannya membuat hidup menjadi indah dan membahagiakan. Penderitaan dan kesulitan menjadi ringan ditanggung karena kesadaran bahwa kita tidak sendirian. Kayakinan akan Allah yang memberkati dan hadir dalam hidup kita membuat penderitaan dan kesulitan menjadi berkat.
Akhirnya belajar dari tradisi Kitab Suci, kita bisa melihat bahwa doa, hidup bersama dan menciptakan kondisi rumah aman dan nyaman menjadi penting. Seluruh kebijaksanaan dan kehidupan relegius Jesus di dapat bukan dari sekolahan formal. Semua itu diperolehnya dari orang tua dan lingkungan sinagoga. Oleh karena itu kira belum terlambat untuk memulai. Kembalikan anak kepada orang tua dan rumah merupakan upaya untuk menghindari ‘generasi rusak’ masa depan. Mengembalikan anak kepada Allah dan Gereja menjadi salah satu solusi untuk menanggapi ‘degradasi moral’ yang semakin memprihatinkan. Menumbuhkan kembali kebiasaan atau budaya Kristiani di dalam rumah, membuat rumah menjadi sel Gereja terkecil yang kokoh. Semoga dengan demikian cita-cita setiap keluarga untuk mengalami hidup yang bahagian dan sejahtera semakin menjadi kenyataan. Negara yang kokoh kuat, aman dan damai menjadi wujud lebih lanjut dari kebahagaian keluarga kita.
Sekarang inilah saat untuk memulai kembali. Merupakan tanggung jawab setiap orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik dan bijak kepada anak-anaknya. Kita tidak bisa saling menyalahkan dan mengandaikan, tugas mendidik anak adalah tanggung-jawab bersama. Apa yang tidak diperoleh di bangku sekolahan harus diberikan dilingkungan rumah. Dan sebaliknya apa yang tidak diperoleh di rumah dan lingkungannya, semestinya menjadi tanggung-jawab pendidik di sekolah. Dengan kesadaran ini diharapkan bahwa pendidikan anak menjadi baik, bukan hanya karena metodenya, tetapi juga hasilnya. Keprihatinan akan ‘generasi mendatang yang rusak’ tidak lagi menjadi kekawatiran dan ketakutan, melainkan menjadi tantangan yang membuat kita lebih refleksif dan kreatif. Keluarga Nazareth menjadi salah satu inspirasi untuk terus menerus menggali kekayaan Gereja dan teladan mendidik anak yang baik.

Rm. V. Teja Anthara scj

No comments: