Saturday, February 25, 2006

MASALAH BAPTISAN BAYI

Tlisan ini didorong oleh adanya pertanyaan yang diajukan oleh salah satu netter di salah satu mailinglist yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Bukanlah maksud saya, dengan tulisan untuk menjawab secara tuntas masalah disekitar baptisan bayi, tetapi lebih memberikan gambaran bahwa praktek baptisan bayi adalah salah satu kekayaan iman dalam ajaran dan liturgi Gereja Katolik. Jawaban yang diberikan oleh Gereja atas masalah baptisan bayi tidak sangat jelas dan fundamental. Tetapi lebih menekankan dan mengungkapan aspek manusiawi dan keagungan sifat dari baptisan itu sendiri. Semoga tulisan pendek ini bisa menambah wawasan kita untuk mengetahui praktek dan pentingnya baptisan bayi dalam Gereja Katolik.

1. Sejarah Baptisan
a. Sejarah awal
Upacara baptisan sejak jaman Kristen perdana dipahami sebagai suatu upacara inisiasi bagi mereka yang mau bergabung dengan Gereja. Hal ini menjadi jelas dari Kitab Suci bahwa orang dewasa yang mengakui imannya dan menerima Kristus menjadi bagian dan anggota suatu komunitas yang ditandai dengan baptisan. Namun perkembangan sejarah mengalami banyak perubahan dalam praksisnya. Misalnya, soal waktu baptisan mengalami perubahan dari 'segera saat' setelah orang mengalami pertobatan ke waktu hari Minggu dalam perayaan Ekaristi, lalu berkembang dalam perayaan Malam Paska. Demikian pula halnya dengan proses persiapan ditambahkan dan akhirnya diperanjang dalam apa yang disebut masa katekumenat. Dan baru pada sekitar abad ke II, anak-anak dimasukan dalam daftar calon-calon baptisan.
Ada berbagai alasan diberikan dalam kontek baptisan anak-anak. Satu alasan fundamental yang mendasari baptisan bayi adalah Johanes 3:3.5. Jesus menjawab, kataNya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah" dan "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah'. Alasan lain adalah masalah dosa Adam, atau dosa asal, yang diampuni dalam pembatisan bayi.
Pada abad ke V praktek baptisan bayi ini menjadi menjadi sangat umum, terutama di Gereja Barat. Dan pada akhir abad ke VIII baptisan bayi menjadi praktek biasa dikalangan Kekaisaran Roma, selain masih tetap dipertahankan adanya praktek baptisan dewasa dengan katekumenat sebagai persiapan. Dalam praktek mengalami pula perubahan arti sakramen baptis. Bapa Gereja mengatakan bahwa baptis adalah pengalaman kongkrit pertobatan orang dewasa, pernyataan keyakinan iman dan penerimaan status hidup yang baru. Para teolog jaman skolastik menulis bahwa para calon baptis tidak diselamatkan dari dunia kafir masuk ke Gereja ilahi, dari hidup dosa kepada pengampunan. Tetapi bahwa calon baptis diambil dari keadaan berdosa karena "dosa asal pada keadaan berahmat"

b. Pra Vatikan II
Baptisan bayi menjadi masalah yang rumit ketika jaman reformasi. Hal ini terjadi karena perubahan pengertian akan Gereja dan pemahaman akan arti rahmat dan iman dalam kehidupan kristiani. Kelompok "Anabaptist" secara tegas menolak praktek baptisan bayi. Luther sendiri tidak menolak. Sedangkan dikalangan para Calvinist mempertanyakan keberadaan dan arti baptisan bayi ini. Bagi mereka, mungkin bayi memang harus dibaptis, tetapi dalam prakteknya mereka tidak melakukan itu.
Gereja Katolik menanggapi masalah ini dalam konsili di Trente, namun mereka tidak menjawab pertanyaan fundamental mengenai baptisan bayi ini. Konsili justru menuduh mereka sebagai 'heretik'. Dalam perkembangan selanjut, terutama dalam isu 'dialog' masalah ini menjadi semakin membutuhkan perhatian dan jawaban. Dikalangan para uskup, terutama semakin menyadari masalah ini, dan melihat perlu adanya katekese dan diikuti dengan pelaksanaan sakramennya.
Akhirnya, keprihatian para uskup terhadap masalah ini terjawab dalam gerakan pastoral liturgi pada abad 20-an. Gerekan ini mengadakan tiga point pembaharuan dalam seluruh proses inisiasi Katolik, yakni masalah perayaan, katekese atau pengajaran dalam proses persiapannya dan akhirnya perubahan ritus dalam penerimaan sakramen.

c. Vatikan II
Konstitusi Liturgi memberi perhatian yang sangat serius pada sakramen inisiasi, demikian juga pada masalah liturgi baptisan bayi. Tugas dan kewajiban orang tua dan bapak-ibu baptis mendapat perhatian dan peranan sangat khusus. Pembaharuan liturgi ini mendapat tanggapan yang sangat antusias terutama di paroki-paroki di Amerika. Namun tidaklah demikian diantara para ahli teologi dan tingkat academik. Di Eropa dan kemudian diikuti oleh Amerika, para ahli mencoba untuk mencari alasan teologi terhadap praktek baptisan bayi ini. Perhatian para teolog dan ahli pastoral terfokus pada masalah iman. Mereka menyatakan bahwa masalah baptisan bayi adalah semata-mata masalah iman orang tua dan Gereja. Dalam budaya dimana Gereja dan negara menjadi satu, hal ini tidak menjadi masalah. Dalam pembaptisan dewasa, para calon baptis menyatakan imannya secara langsung. Tetapi ketika dunia menjadi sekular, terutama diakhir abad 20-an, masalah menjadi mendesak dan penting. Ketika orang tua tidak mampu menunjukkan bukti akan komitmen terhadap imanya. Ketika orang tua kurang mampu menyadari fungsinya sebagai orang tua, serta tidak mampu memberi jaminan masa depan anaknya, masalah baptisan bayi menjadi pertanyaan yang sangat serius.
Sementara banyak artikle mendukung 'legitimacy' baptisan bayi, namun banyak juga yang kurang antusias terhadap masalah ini. Timbul berbagai macam pertanyaan yang diajukan kepada Kongregasi dibidang doktrin dan iman untuk segara bisa dijawab, sehingga meyakinkan umat akan kebenaran praktek Gereja Katolik akan Baptisan bayi. Pertanyaan yang diajukan disekitar keberatan baptisan bayi adalah: rahmat yang ditawarkan dalam sakramen "seharusnya diterima dan diyakini oleh yang menerimanya, penekanan pada kebebasan pribadi menyangkut masa depan iman si bayi; keaneka-ragamanan budaya dan sosialitas dimana bayi akan diasuh dan dididik; perlunya pewartaan dan pejelasaan kepada orang dewasa akan adanya praktek baptisan bayi.
Perdebatan terjadi untuk menjawab pertanyaan ini. Dan akhirnya Gereja memberikan dalam petunjuk pastoral memberikan dua jawaban fundamental terhadap pertanyaan diatas: Pertama-tama bahwa rahmat dan karunia yang terkandung dalam sakramen baptisan, tidak boleh ditunda diterimakan kepada seorang bayi. Kedua bahwa harus ada jaminan yang pasti bahwa karunia dan rahmat sakrament bisa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan dan pengaruh lingkungan kehidupan Kristiani yang akan diberikan. Bila jaminan ini tidak terpenuhi, maka baptisan harus ditunda, bahkan baptisan bayi boleh ditolak.
Jawaban lebih detail terhadap permasalah baptisan bayi, diberikan oleh Gereja dalam petunjuk pastoral akan liturgi baptisan bayi. Disitu ditekankan lebih dalam lagi peranan orang tua dan berbagai macam aspek, tanda dan keterlibatan umat sebagai bagian penting dalam baptisan bayi.
Salam dan doa
MoTe

1 comment:

beno kumendong said...

baptisan bayi sangat baik, yang mana keselamatan jiwa bayi itu sendiri terjamin secara total. kita tidak boleh memandang bahwa baptisan bayi membawa keterpaksaan yang luar biasa bagi orang tua dan anak yang bersangkutan melainkan kita pandang hal itu sebagai kebaikan yang sejati. karena Tuhan berkata bahwa "baptislah segala bangsa dalam nama Bapa, Putra dan ROh Kudus"